29 March, 2010

Mata Uang Bernama Permen

Pernahkah kamu dapat kembalian permen ketika habis belanja di toko, supermarket atau tempat belanja lainnya? Saya rasa, Hampir semua dari kita tentu saja pernah merasakan hal itu. Bagaimana perasaan kamu? Keberatan, marah, bingung, sebel, kesal, dongkol, atu biasa aja? Sebagian mungkin menganggap ini adalah hal biasa. Apa artinya sih uang hanya seratus, dua ratus atau lima ratus perak, toh kalau dibelanjakanm juga tidak bisa buat beli apa-apa! Barangkali banyak yang berpikir begitu. Tapi, sadarkah kita, jika sebenarnya kembalian dengan permen itu bukan hanya sekadar melanggar tata niaga, bahwa uang secara definitif berarti alat pembayaran yang telah disepakati, tapi secara tidak langsung pemilik supermarket telah mengeruk banyak untung dari hal tersebut dan konsumen atau pembeli telah dirugikan secara sepihak?

Mari kita hitung secara matematis.
Misalkan satu pack permen dengan isi dua lusin (24 bungkus) permen harganya Rp. 3 500,- maka harga permen satuannya adalah RP, 145, 9,-.
Itu artinya, jika saja permen tersebut disepakati sebagai alat pembayaran, maka harga mata uang permen tersebut adalah senilai Rp. 145, 9,-.
Nah, apa jadinya kalau kembalian kita sebanyak Rp. 200, atau Rp. 500 dikembalikan dengan permen? Bukankah 145, 9 adalah bilangan ganjil berkoma yang tak akan habis jika membagi bilangan 100 dan kelipatannya? Tentu saja konsumen akan rugi. Apalagi banyak kasir sebuah toko atau tempat perbelanjaan lainnya membulatkan permen seharga sekian menjadi Rp. 200,- atau ada juga yang menghitung 3 permen = Rp. 500,- Maka akan kacu jadinya. Selisih harga kurs Rupiah dan kurs mata uang permen tercecer di mana-mana.

Kalau 1 bungkus permen sama dengan Rp. 200,- maka 24 permen tadi akan menjadi Rp. 4800. Artinya, ada selisih keuntungan 1300 bagi si pemberi kembalian (penjual, pemilih toko, yang diwakili oleh kasirnya). Tentu saja menurut saya ini tidak fair, sebab bagaimanapun, kita tidak sedang bertransaksi membeli permen, tapi kita sedang meminta kembalian. Kalau berjualan, memperoleh untung dari selisih harga jual dan beli, itu lain soal lagi, itu sah-sah saja.

Bayangkan kalau kejadian ini terus saja berlanjut. Dalam setahun, dengan sekian kali belanja dan dapat kembalian permen, sudah berapa rupiah kita sebagai konsumen rugi? dan sudah berapa rupiah transaksi tidak sah yang diambil oleh penjual pada pembeli dari selisih mata uang permen itu dengan mata uang rupiah yang kita ambil sehari-hari?

Fenomena ini adalah hal sepele, tapi jika dibiarkan begitu saja, menurut saya situasi perdagangan bisa saja rumit, aneh dan tidak fair. Ini bukan masalah pelit, teliti, tidak ihlas, atau apalah namanya, tapi bagi saya ini menyangkut masalah kesepakatan, etika dan kedisiplinan. Banyak supermarket, yang sebab malas mencari uang receh pecahan seratus, limaratus dan lain sebagainya menggunakan jalan pintas ini. Entah memang karena malas mencari receh, atau ada motif pengambilan untung di belakangnya. Yang jelas, konsumen selalu saja sebagai korban dan menanggung kerugian.

Bukankah banyak pembeli yang belum sepakat, bahkan keberatan dan merasa dirugikan dengan penggunaan permen sebagai kembalian? Lalu, apakah kita akan diam saja. Atau, apa yang akan kita lakukan? Hmmmm. Saya mungkin akan memulai menolak mata uang permen ketika nanti hal itu terjadi (lagi) kepada saya saat membayar di kasir.
:D

21 March, 2010

Obama Anak Menteng? So What Gitu Loh!

Obama anak Menteng dan pernah sekolah di SD Menteng Dalam (Besuki). Terus kenapa memangnya?!

Saya sebenarnya sudah lama sekali menghindarkan diri untuk menulis tulisan semacam ini: Tulisan tentang Obama, seorang presiden Amerika Serikat yang pernah sekolah dan tinggal di Indonesia. Namun, saya lama-kelamaan semakin jengah dengan sikap banyak orang yang terlalu berlebihan dan norak dalam menyikapi hal ini. Ada yang mebuat tugu untuknya, mendirikan tugu si Obama Kecil yang membawa burung merpati sebagai simbol perdamaian, ada lagi yang menulis novel tentang kisah hidup Obama kecil sewaktu di SD Menteng Dalam dan akan mempersembahkannya buat Obama saat datang nanti di Indonesia. Bahkan ada yang katanya telah menciptakan lagu untuk Obama, "Bocah kecil lucu, dulu ada di sini, Barack Obama", begitu kira-kira liriknya. Astaga, apa-apaan ini?

15 March, 2010

Apa khabar blogku sayang?

Apa khabar blogku sayang? Apa khabar juga kawan-kawan blogerku yang baik hati, rajin berbagi, rajin berkunjung, rajin komentar dan rajin sekali pada up date? Lama sekali rasanya tidak posting. Saya hitung-hitung sudah satu bulan. Posting terakhir saya kalau tidak salah pertengahan Februari. Duh.

Bukan apa-apa sih nggak posting, tapi saya merasa agak berhutang saja. Hehehe. Berhutang pada siapa? hmmm... mungkin pembaca blog saya tidak banyak-banyak amat, apalagi punya pembaca fanatik, saya rasa tidak, kecuali beberapa kawan yang memang selalu hadir berkunjung dan bertegur sapa. Namun, saya merasa berhutang budi sama diri saya sendiri. Hehehe.

Bagi saya, blog ini sudah semacam majalah rutin mingguan, yang harus saya penuhi deadline-nya. Entah memposting apa saja, yang penting posting. Saya tiba-tiba  merasa berhutang pada diri saya sendiri dan ingin membayarnya segera.

Sebenarnya saya masih rutin menulis seperti biasa, hanya saja, saya tidak mempublikasikannya di blog selama satu bulan belakangan ini. Selain karena pulsa modem yang belum saya isi, saya hanya sedang tidak terlalu ingin menyentuh internet selama sebulan kemarin. Praktis, banyak khabar, informasi dan berita yang hilang, terutama dari kawan-kawan di dunia maya. Tapi toh saya mengimbanginya dengan membaca koran dan berita lainnya.

Baiklah, saya sebenarnya nggak punya tujuan apa-apa untuk menulis ini. Mungkin hanya ingin say hallo lagi buat kawan-kawan pembaca blog saya. Hehehehe...mari menulis lagi dan meramaikan blog kita lagi, kawan.
Semangat!!!


Buku Buku Saya