*
Di satu pagi,
aku ingin selembar kartu pos tergeletak di bawah pintu,
dan di pojok kanan atas tertempel perangko kotamu,
pengirimnya adalah kamu, nama pendekmu itu, bersama tulisan berantakanmu,
biar aku baca di bawah langit-langit kamarku,
terserah, tentang berita sedihmu, atau juga sebaliknya: cerita gembiramu
aku ingin sehelai kartu pos teronggok di bawah pintu rumahku,
berisi kabar-kabar tentang jalanmu yang makin jauh, pengembaraanmu yang makin kacau, juga celana jeansmu yang makin bau dan lembab, lengkap dengan gatal-gatal tubuhmu yang jorok.
**
Sepertimu, demikian juga aku, mengembara makin jauh, melamun makin kacau,
dan insomniaku makin akut, juga tuhan-tuhanku makin mengabur,
o, kau pasti tahu,
***
Aku mengukir dan meninggalkan tanda di setiap tapak yang aku jejak, menadai satu demi satu, meninggalkan prasasti tumpuk demi tumpuk, prasasti yang kelak dapat aku urai, saat kita makin renta dan tak kuat lagi mengembara,
o, kau juga pasti tahu.
****
Aku hanya ingin kau bercerita,
pendek saja,
tentang wajah-wajah asing yang kau temui, lorong demi lorong, tanah demi tanah,
juga lapak demi lapak,
tentang kau yang berhenti sejenak saat hujan, berteduh setiap panas,
lalu melangkah lagi ketika hujan mulai reda, jika panas melembut jadi hangat
*****
Biar kusimpan kartu posmu, lalu melanjutkan lagi perjalanaku, sembari menggumamkan harap dalam dengung mulutku
: semoga kita tak pernah lupa jalan pulang.
******
Biar saja jalan makin sepi, biar saja pagi makin dingin,
aku mengadu pada alam semesta
o, semoga kita tak pernah lupa jalan pulang.
di seberang jalan itu, entah yang mana
ReplyDeletesepasang alis mata tiba-tiba menebal
tak ada yang tahu
ia hanya tahu, kini bahunya disandarkan ke tembok
seluruh dirinya bekerja menghidupkan sepasang alis mata yang lain
jalan setapak yang juga lain
siapa??
ReplyDeletesiapa itu?
seberang jalan di mana? kota, desa, hutan, rimba?
semuanya kabur!
yah, mending lah masih ada jalan untuk pulang. gw malah ud ga bisa bedain lagi : ini pulang ataw pergi :(
ReplyDeleteSalam Irwan Bajang,
ReplyDeletekamu tulisi puisi untuk sahabatmu kah (?),
bercerita lewat kartu-kartu (surat) yang diterima ...
@Putri. berarti kamu udah gila..sungguh gila
ReplyDelete@Zulkifli. iya, untuk si Zaki yang gila... sahabtaku itu
"Di satu pagi,
ReplyDeleteaku ingin selembar kartu pos tergeletak di bawah pintu,
dan di pojok kanan atas tertempel perangko kotamu,"
Hari gini masih pake Pos... Gimana Kalo di ganti Email.. hahaha.. becanda bung... :D
hahahahaha
ReplyDeletekartu pos jauh lebih keren bung, dari pada sekadar email..
hehehehe
mau tak kirimin juga?
hahahaha
Puisi yang sedap. Hehe
ReplyDeletemakasih wahyudi..
ReplyDelete:D
kasihh kritikanlah Bung buat saya..
hehehe
biar makin maju
aku bingung mau komen gimana?
ReplyDeleteaku ngerasa puisimu yang ini kurang asyik dibanding sebelum-sebelumnya...
kurang tegas gitu...
nggak 'bajang' gitu...
hahaha...
Hmmm.... ya, semoga kita tak lupa jalan pulang! Pengembaraan dan lamunan tak mengaburkan tiap tanda yang kita jejakkan di tiap tikungan jalan.
ReplyDelete