****
Aku duduk diam sembari memaki dalam hati. Di depanku seorang kawan demonstrasiku terkapar tidak berdaya setelah dikeroyok barisan polisi berseragam. Persis seperti gaya preman mengeroyok tokoh utama dalam film-film yang kerap kita tonton di kotak ajaib bernama televisi itu. Bahkan, seorang polisi yang mengaku dirinya kepala unit Buser di Polres Lombok Timur sempat menantang kesepuluh di antara kami untuk berduel di Rambang (sebuah pangkalan TNI AU di dekat pantai di Lombok Timur).
"Kalian mau lapor siapa, hah? Lapor sama malaikat pun aku tidak takut" Begitu ucap laki-laki sialan itu dengan nada sombong. Kalau saja ia sendirian dan aku sendirian, ingin kusumpal mulutnya dengan sandal jepit yang telah putus talinya ini, lantaran diinjak sepatu-sepatu both saat kami digerebeg. Sialan, aku tak henti-hentinya memaki dalah hatiku. Aku belum pernah seumur hidup diperlakukan biadab seperti ini oleh polisi.
Pasalnya sepele saja, kami melakukan aksi demonstrasi di desa kami. Kami telah melayangkan surat pemeberitahuan sehari sebelumnya. Namun hal ini ditolak mereka, karena demo atau unjukrasa harus mengantongi surat ijin, katanya. Fuih, sejak kapan negara demokrasi meminta rakyatnya untuk berijin melakukan unjuk rasa? Selama bertahun-tahun di Jogja, aku tidak pernah minta ijin untuk unjuk rasa, termasuk di kampus atau di mana saja. Aku terus saja memaki dalam hati. Sejak gerombolan polisi itu menangkap kami bersepuluh. Mereka menuduh kami provokator, padahal, kami yang menggerakkan masa secara sadar, padahal di awal orasai, kami telah menyatakan aksi damai, padahal mereka yang lebih dahulu mendorong kami dan merampas megaphone dari kami. Padaha, mereka yang anarkis, padahal mereka yang kurang ajar!
Aku sedang duduk kesal, sembari merasakan beberapa nyeri dibadan akibat dipukul dan dijambak saat ditangkap, pun saya dipukuli saat saya berdebat dengan mereka di atas mobil patrol, ketika tiba-tiba sebuah tendangan lutut yang sangat keras menghantam mulutku. Bibirku pecah, gigiku ngilu dan darah muncrat, lalu polisi itu lari keluar ruangan dengan berkata "Sakit ya? Maaf ndak lihat!" Aku hanya bisa merasakan rungan yang seolah berubah menjadi kapal yang terombang-ambing di tengah samudra. Aku pusing, aku memilih bersandar dan terasa akan segera pingsan. Lalu, salah satu dari dua adik kandungku yang juga ikut tertangkap berbisik padaku. "Ary Aryana namanya!" Ary Aryana, aku sebut nama itu, nama yang menggaung di kepalaku yang pusing. Ary Aryana nama pengecut itu. Seorang polisi printis yang menendang mulutku, lalu ngacir entah ke mana.
****
Saya tidak sedang ingin curhat dan berbagi sakit juga kekesalan, sebab jika berbagi kesakitan dan kekesalan, ada kawan-kawan saya yang lain, yang lebih menderita sakit. Ada yang dikeroyok, ditendang dadanya, diseret di aspal hingga berdarah lututnya. Tidak, saya tidak sedang ingin membagi sakit dan kesal. Saya hanya ingin menyatakan, bahwa saya sungguh sangat membenci militerisme! Saya mengutuk segala bentuk kepengecutan dan segala bentuk kebanggaaan atas seragam yang sama sekali tak membuat saya takut.
Jika rasionalitas pikiran yang saya kemukakan di atas mobil patroli dilawan dengan otot dan pukulan, maka otomatis kita sedang memupuk dan menyirami kekerasan yang kelak akan berbuah brandalisme dan premanisme, alias represifitas tanpa alasan. Apakah kekerasan kini sudah menjadi bagian budaya kita? Benarkah kekerasan yang terbentuk merupakan produk dari struktur? Ataukah kekerasan sudah dianggap sebagai alat yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dan membungkam? Apa pun faktor penyebabnya, kekerasan tetaplah sebuah kejahatan. Saya tidak pernah bisa menerimanya. Seharusnya, melallui aparat kepolisianlah, hukum mesti ditegakkan. Karena aparat kepolisian merupakan masyarakat sipil yang merupakan pelindung dan pengayom masyarakat juga pemelihara keamanan dan ketertiban. Bukan tukang pukul atau algojo pemerintah.
Yogyakarta,3 Oktober 2009
Foto dari sini
kejaaaammmmmm..........(lagi sensi sama polisi nih)
ReplyDelete