30 September, 2007

kisah perempuan

Yogyakarta tidak begitu cerah pagi ini, cuacanya sedikit mendung dan langit tampak ditutupi awan abu-abu di beberapa bagiannya. Aku baru saja sampai ke kota ini lagi, setelah dua tahun lebih aku meninggalkannya. Dulu aku sempat bergelut lama dengan kota ini, hampir lima tahun memakan bangku kuliah di kampus di kota pelajar yang ramah ini. Bus yang aku tumpangi sepertinya tahu betapa rindunya aku dengan kota tujuan ini, kerinduan yang dalam pada suasana, pada budaya, pada malam-malam yang sering aku lewati dan pada perempuannya.
“Halo sayang, kamu dimana sekarang? Aku baru saja sampai di Janti. Jadi kan jemput aku?”
“O o, ya udah kamu tunggu dulu ya di situ, lima menit lagi aku sampai.”
“Oke, hati-hati ya.”
“Oke Bli-ku sayang.”
Aku merapat ke arah kantor agen bus yang aku tumpangi tadi dan duduk di kursi di bawah atap depan kantor. Aku semakin penasaran, bagaimana perempuanku yang telah lama aku tinggalkan. Aku tahu ia begitu menyayangiku. Ia benar-benar perempuan yang bijaksana, selalu mendukung segala langkah hidupku, selain ibu dan saudara-saudaraku ia salah satunya yang membuat hidupku begitu berwarna dan bercorak kebahagian seperti saat ini. Rindu yang terkumpul dua puluh empat bulan lebih akan segera tertumpah sebentar lagi, aku semakin rindu pada keriangannya dan aku semakin ingin segera ia ada di depanku. Aku ingin lagi menikmati wajahnya yang indah dan khas. Ya, khas perempuan Yogya.
“Hey..melamun aja!” Ia mengagetkan aku dengan dorongan tanganya yang khas. Sedikit kasar tapi penuh dengan perasaan yang tidak bisa ia pungkiri. Aku tersenyum dan dengan tanpa sadar tanganku segera membelai rambunya. Tidak ada yang berubah darinya, rambutnya masih diikat di belakang dengan sembarangan, sedikit berantakan. Masih ada setitik tahi lalat di bagian atas hidungnya, tanda lahir bawaannya yang selalu aku ingat dari hawa satu ini. “Ayo ikut aku…di jemput malah ngelamun! Buruan, ibu sudah nunggu tuh di rumah, dia kangen kamu katanya.”
“Ibu apa kamu yang kangen? Hehe…kamu kan?”
“Enak aja, pulang lagi sana. Amit-amit dah kangen sama kamu.”
“Bener? Aku pulang lo!”
“Hehe, pulang ke hatiku maksudnya,” ia tersenyum sedikit manja.
“Haha… dasar! Uh…” aku mendorong kepalanya pelan. Tak lama kemudian kami sudah di atas motornya dan sebentar lagi akan segera sampai rumahnya yang tidak jauh dari tempat pemberhentian bus tadi.
*************
“Ngurah, kapan datang? Mbah lama ndak lihat kamu, kamu pulang sudah dua tahun ndak ada kabar sama sekali.”
“Iya Mbah, maaf, saya baru sampai kemarin pagi, tadi malem nginep di rumahnya Rindu. Kangen sama Mbah, kangen sama rumahya dan masakannya”
“Kalo begitu nanti biar Mbah masak makanan kesukaanmu, kamu nginep di sini kan?”
“Saya sewa hotel saja Mbah, gak enak ngerepotim Mbah”
“Walah-walah, gaya ya sekarang, mentang mentang sudah jadi pengusaha sukses nginepnya di hotel, ndak mau sama si Mbah lagi. Kapan sih kamu ngerepotin Mas? Udah disini wae nginepnya, nanti sewa hotelnya ditabung buat nikahin Mbak Rindu ”
“Ha..ha, Mbah ini bisa aja, ya udah saya nginep disini aja selama di Yogya ya Mbah”
“Ya…Mbah kan juga ndak ada temen”
“La Mbah Lanang mana?”
“Kan udah meninggal, setahun yang lalu. Mbah mau kabarin kamu tapi ndak tahu pakai apa, pakai surat Mbah kan ndak tahu alamatmu apalagi pake telpon, kamu ndak ninggal nomer disini.” Suaranya masih tegas seperti dulu, tapi aku mendengar sepintas suaranya mengandung kesedihan yang dalam. Kesedihan dan kesepian yang begitu dalam.
“O.. maaf ya Mbah…” aku jadi kikuk sendiri. Antara rasa bersalah karena tidah pernah memberinya khabar dan pertanyaanku yang membuat ia sedih. Aku melihat raut wajahnya semakin menua, entah berapa umurnya sekarang. Ketika pertama kali aku datang dan menyewa kamar untuk kost dirumahnya tujuh tahun yang lalu ia mengaku sudah berusia sekitar enam puluh tahun lebih.
Malam itu kami makan berdua, ia bercerita panjang lebar tentang kejadian-kejadian selama aku pulang ke Bali. Tentang anak-anaknya yang menghilang dan tak pernah menjenguknya lagi. Tentang gempa di Yogyakarta, tentang kotanya yang semakin ramai dan semakin banyak mall-mall dan tentang prilaku tetangga setelah suaminya meninggal yang katanya tidak wajar.
************
Pagi ini aku ke rumah pacarku lagi, tadi malam ia menelponku ia bilang ibunya ingin berbicara serius kepadaku hari ini. Aku minta taksi menjemputku di depan gang rumah nenek tempat aku menginap semalam. Sepanjang jalan aku sibuk memperhatikan perubahan wajah kota pelajar yang semakin cepat berubah itu. Jalan-jalan semakin ramai dilalui kendaraan yang hilir-mudik. Para gembel dan pengamen tampaknya semakin banyak di tiap perempatan. Demikian pula hanya dengan komunitas anak punk dengan dandanan yang makin necis semakin banyak mengisi jalanan kota ini. Potret kota budaya dan kota pelajar yang semakin hari semakin berubah. Sekitar dua puluh menit lamanya aku sampai di halaman rumah Rindu yang teduh.
Obrolan kami terasa begitu hangat. Rindu terlihat begitu manja, anak ini seperti begitu butuh kasih sayang seorang lelaki Karena menurut ceritanya, ayahnya meninggal saat ia masih dalam kandungan. Aku menjadi merasa sangat bertanggung jawab padanya. Aku tidak mau ia tersakiti oleh tingkah lakuku. Meskipun ia bukan perempuan yang cengeng dan manja, bahkan cenderung tomboy, tapi aku yakin jiwa anak ini tetaplah tidak jauh berbeda dengan perempuan lain pada umumnya.
“Bagaimana Nak Ngurah, kapan ngelamar Rindu? Kalian kan sudah lama pacaran, dan ibu lihat kalian sudah dewasa dan siap menempuh hidup berumah tangga”
“Akh Ibu ini, nanti juga pasti itu. Jangan gitu dong Bu” Rindu menimpali sedikit manja, sambil mencubit ibunya. Tapi aku tahu ia pun sangat mengharapkan aku segera melamarnya. Kami sudah menjalin hubungan lima tahun lebih. Waktu yang tidak sebentar untuk dapat saling mengenal. Mendengar hal itu seolah ada jarum-jarum kecil yang begitu banyak menyerang ke arah kepalaku. Ada banyak hal yang susah aku ceritakan pada mereka. Aku takut kedua perempuan itu akan sakit hati dan tiba-tiba berpandangan buruk padaku. Aku begitu takut menceritakan hal tersebut. Disamping perbedaan agama yang kadang begitu mengahambat bagiku. Kadang aku sering bertanya, kenapa agama dan undang-undang melarang menikah dengan orang yang berbeda agama, padahal semua agama meyakini bahwa cinta itu diciptakan oleh Tuhan juga.
Aku berusaha tidak menampakkan sikap yang aneh agar mereka tidak curiga. Aku coba tersenyaum dan menyembunyikan pikiranku yang kacau.
“Iya Bu, saya pasti lamar Rindu. Tapi kan nggak sekarang Bu, tunggu dulu saya omongkan dengan orang tua di rumah”
“Bukannya orang tua di rumah sudah tahu dan setuju. Dulu kan Rindu pernah ikut pulang ke rumah Nak Ngurah”
“Ya Bu…nanti pulang ini saya persiapkan segalanya baru saya kesini lagi” aku berusaha melegakan hati mereka. Rindu tampaknya begitu gembira. Ia menatap dalam ke mataku. Tatapan yang begitu terasa menusuk sampai dalam otakku. Tatapan yang menakutkan bagiku. Aku merinding sendiri. Ada ketakutan yang begitu dalam yang mengganggu pikiranku. Aku tidak berani…..
Sungguh aku takut….
Ini karena kesalahanku yang bodoh!!
***********

Aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak. Pagi ini tampaknya tidak begitu cerah, langit Yogyakarta sedikit berawan dan tampaknya akan hujan. Kulangkahkan kaki ke arah pinggir teras atas depan kamar tidur yang aku tumpangi. Masih sepi rupanya, si Mbah belum bangun. Mungkin dia kelelahan, aku semalam melihat ia begitu murung sambil menonton tv di kamar tengah. Kasian sekali dia, anak-anaknya telah jarang dan bahkan tidak pernah lagi menjenguknya. Ia sendiri di usianya yang beranjak tua dan butuh perhatian. Sementara lingkungan begitu mengucilkannya gara-gara kematian suaminya yang aneh. Orang-orang beranggapan suaminya meninggal akibat ilmu pesugihan yang ia jalani. Padahal setahuku suaminya adalah orang yang taat beribadah. Bahkan ia dulunya adalah pemuka masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
Menurut ceritan perempuan tua ini, suaminya meninggal akibat keracunan makanan, entah makan apa. Dokter pun telah membenarkan bahwa suaminya meninggal akibat keracunan makanan, namun warga seolah tutup telinga dengan penjelasan itu. Yah…mungkin ini akibat konsumsi tayangan televisi yang begitu kuatnya berlomba menayangkan tayangan yang mengkonstruksi pikiran masyarakat. Entahlah, aku juga tidak begitu mengerti, mungkin tayangan mistis-mistis sedang trend dan menyerap banyak sponsor sehingga stasiun tv berlomba-lomba untuk menyajikan hal tersebut.
Aku menuruni tangga untuk menuju kamar mandi dan bergegas akan ke rumah Rindu lagi. Katanya pagi ini ia akan mengajak aku keliling kota. Singgah di tempat-tempat yang sering kami kunjungi dulu. Makan di tempat makan kesukaan kami sambil mengenang kisah-kisah yang pernah kita lalui dulu waktu aku masih kuliah di Jogja.
Aku penasaran, kenapa sampai jam segini si Mbah belum juga bangun. Arloji di tangan kiriku menunjuk pukul sembilan pagi. Perutku sudah lapar dan ingin sarapan pagi. Dari tadi rindu juga katanya telah siap menungguku. Aku jadi memberanikan diri untuk mengetok pintu kamar nenek tua ini.
“Mbah…bangun Mbah, sudah siang,” belum ada tanggapan. Aku ketuk lebih kencang lagi. “Mbah, sudah siang! Bangun Mbah!” aku ketuk berulang-ulang tetap tidak ada respon. Masa dia tidur senyenyak itu, setahuku ia subuh biasanya bangun dan memulai aktivitasnya. Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan ia sakit, atau pingsan. Atau….akh…aku terlalu banyak berhayal. Akhirnya aku coba buka pintunya. Ternyata tidak terkunci, dan ….
Ya Tuhan. Sungguh aku terperanjat bukan main. Darah mengalir dengan segar dari luka pergelangan tangan kirinya, dan sebilah pisau cutter jatuh di lantai belumuran darah pula. Ada apa gerangan. Kenapa nenek ini mengakhiri hidup dengan cara seperti ini. Aku jadi merinding sendiri. Aku bingung dan tidak tahu harus bertindak apa.
Ada sepucuk surat tergeletak di sebelah bantal yang ia tiduri.
“Semua harta warisku aku berikan kepada I Gusti Ngurah Eka Sastrawan” sungguh kaget aku melihatnya. Padahal pisau itu tadi malam aku pinjam untuk mengupas mangga yang ia berikan. Pastinya sidik jariku masih menempel disitu. Akh…ada apa ini. Ada apa dengan kota yang aku datangi ini? Kontan aku berteriak minta tolong dan dalam waktu yang cepat warga sudah menumpuk di sekitarku. Rindu pun datang setelah aku telpon. Dari jauh aku dengar suara sirine mobil polisi terdengar kain mendekat. Aku diam sendiri. Aku masih belum tahu skenario apa yang ditulis Tuhan buatku. Duh Gusti Gusti ada apa ini? Hatiku menjerit sendiri di tengah kerumunan itu. Aku seperti terpisah sendiri dalam kebingungan pribadiku di tengah kerumunan orang-orang yang bertanya-tanaya.
Getar handphone di saku celanaku terasa begitu keras. Ada telpon rupanya. Sedikit mengagetkan dan membuyarkan lamunan kebingunganku.. Aku menyibak barisan kerumunan warga dan menuju pojok ruangan untuk menerima telepon.
“Halo Ma”
“Pa, halo…cepat pulang ke rumah sekarang juga Pa” Suara wanita di telingaku begitu gugup.
“Tenang Ma…ada apa?” aku semakin gelisah ada apa lagi di rumahku.
“Papa segera pulang, anak perempuan kita masuk rumah sakit. Sekarang di ruang ICU Pa,” suara istriku sambil menagis.
Tanganku gemetar. Handphoneku jatuh ke tanah, badanku lunglai rasanya. Ada apa lagi ini, ada apa dengan perempuan-perempuankuku. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Aku harus segera pulang untuk perempuan-perempuanku di rumah. Sementar tiga perempuan disni telah membuat aku bingung. Bingung dan bingung sekali.
Dari arah kerumunan berjalan ke arahku tiga orang berseragam polisi lengkap ke arahku. Keringat dingin mulai mengucur keluar dari pori-pori tubuhku. Badanku serasa dingin dan lututku bergetar. Apa yang mesti aku katakan pada Rindu dan ibunya?. Lalu bagaimana dengan istri dan anakku? Akh..perempuan perempuan, kalian inginkan apa dariku….