Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

12 June, 2011

Paradoks Iklan Pariwisata

Saya mulai jengah menyaksikan iklan-iklan pariwisata yang saban hari ditanyangkan berulang-ulang dengan jeda yang selalu panjang di televisi. Iklan-iklan semacam itu, sungguh sama sekali tak menyajikan realitas yang terjadi di masyarakat daerah pariwisata yang ditayangkan. Pariwisata seolah adalah cerminan, bagaimana indah, ramah, makmur dan bersahajanya daerah tujuan wisata. Tayangan ini sama tak pernah mengabarkan, betapa miskinnya masyarakat kita, masyarakat Bali, Lombok, Flores, Papua. Pada tayangan iklan ini, kita seolah diajak  melupakan bagaima keringnya daerah-daerah pinggiran. Bagaimana miskinnya petani-petani yang terancam bunuh diri akibat hutang yang menumpuk akibat pancaroba, air yang susah dan miskinnya mereka.

02 May, 2011

Bank untuk Penulis

Saya sudah banyak sekali membeberkan rahasia tentang bagaimana menerbitkan buku secara indie, self publish atau dengan nama sederhana menerbitkan sendiri buku yang ditulis. Saya bahkan sudah membuat Indie Book Corner, sebagai wadah untuk membantu segala hal tekhnis mengenai menerbitkan buku. Menerbitkan buku itu gampang! Semua sudah saya jelaskan. Tapi ada satu hal yang masih menjadi beban saya. Bagimana buku itu selain gampang diproduksi, tapi juga harus murah memproduksinya.
Nah, jawaban ini yang belum ketemu.

11 August, 2010

Saya, Tuhan dan Puasa


Entah sudah berapa tahun saya selalu mengikuti puasa, seingat saya, saya belajar puasa setengah  hari sejak usia 6 tahun. Waktu itu saya selalu berusaha untuk melewati hari yang penuh perjuangan dan melelahkan untuk sampai pada saat bedug magrib mulai ditabuh. Usia 7 tahun, saya sudah puasa full seingat saya. 

Sekarang saya sudah berusia 23 tahun, rasanya puasa kali ini adalah puasa yang saya renungi betul. Sebab saya sebenarnya sudah merdeka, tidak seperti dulu-dulu ketika kecil, saya menganggapnya sebagai sebuah perjuangan untuk meraih simpati teman-teman di sekeliling saya. Saya akan bangga bercerita dan memamerkan berapa jumlah hari saya bisa melampaui puasa secara full pada teman sebaya saya. Juga bagaimana saya meraih hati orang tua untuk kelak dibelikan baju lebaran dan diajak liburan keluarga.

11 June, 2010

Kehidupan Batu Bata

Pernahkah kamu merasa, hidup begitu hambar dan tidak berarti? Saya yakin, pernah. Setidaknya dari beberapa cerita kawan saya dan banyak orang yang saya jumpai, bahwa sebagian orang memang pernah mengalami sebuah masa yang tak mengenakkan.

29 March, 2010

Mata Uang Bernama Permen

Pernahkah kamu dapat kembalian permen ketika habis belanja di toko, supermarket atau tempat belanja lainnya? Saya rasa, Hampir semua dari kita tentu saja pernah merasakan hal itu. Bagaimana perasaan kamu? Keberatan, marah, bingung, sebel, kesal, dongkol, atu biasa aja? Sebagian mungkin menganggap ini adalah hal biasa. Apa artinya sih uang hanya seratus, dua ratus atau lima ratus perak, toh kalau dibelanjakanm juga tidak bisa buat beli apa-apa! Barangkali banyak yang berpikir begitu. Tapi, sadarkah kita, jika sebenarnya kembalian dengan permen itu bukan hanya sekadar melanggar tata niaga, bahwa uang secara definitif berarti alat pembayaran yang telah disepakati, tapi secara tidak langsung pemilik supermarket telah mengeruk banyak untung dari hal tersebut dan konsumen atau pembeli telah dirugikan secara sepihak?

Mari kita hitung secara matematis.
Misalkan satu pack permen dengan isi dua lusin (24 bungkus) permen harganya Rp. 3 500,- maka harga permen satuannya adalah RP, 145, 9,-.
Itu artinya, jika saja permen tersebut disepakati sebagai alat pembayaran, maka harga mata uang permen tersebut adalah senilai Rp. 145, 9,-.
Nah, apa jadinya kalau kembalian kita sebanyak Rp. 200, atau Rp. 500 dikembalikan dengan permen? Bukankah 145, 9 adalah bilangan ganjil berkoma yang tak akan habis jika membagi bilangan 100 dan kelipatannya? Tentu saja konsumen akan rugi. Apalagi banyak kasir sebuah toko atau tempat perbelanjaan lainnya membulatkan permen seharga sekian menjadi Rp. 200,- atau ada juga yang menghitung 3 permen = Rp. 500,- Maka akan kacu jadinya. Selisih harga kurs Rupiah dan kurs mata uang permen tercecer di mana-mana.

Kalau 1 bungkus permen sama dengan Rp. 200,- maka 24 permen tadi akan menjadi Rp. 4800. Artinya, ada selisih keuntungan 1300 bagi si pemberi kembalian (penjual, pemilih toko, yang diwakili oleh kasirnya). Tentu saja menurut saya ini tidak fair, sebab bagaimanapun, kita tidak sedang bertransaksi membeli permen, tapi kita sedang meminta kembalian. Kalau berjualan, memperoleh untung dari selisih harga jual dan beli, itu lain soal lagi, itu sah-sah saja.

Bayangkan kalau kejadian ini terus saja berlanjut. Dalam setahun, dengan sekian kali belanja dan dapat kembalian permen, sudah berapa rupiah kita sebagai konsumen rugi? dan sudah berapa rupiah transaksi tidak sah yang diambil oleh penjual pada pembeli dari selisih mata uang permen itu dengan mata uang rupiah yang kita ambil sehari-hari?

Fenomena ini adalah hal sepele, tapi jika dibiarkan begitu saja, menurut saya situasi perdagangan bisa saja rumit, aneh dan tidak fair. Ini bukan masalah pelit, teliti, tidak ihlas, atau apalah namanya, tapi bagi saya ini menyangkut masalah kesepakatan, etika dan kedisiplinan. Banyak supermarket, yang sebab malas mencari uang receh pecahan seratus, limaratus dan lain sebagainya menggunakan jalan pintas ini. Entah memang karena malas mencari receh, atau ada motif pengambilan untung di belakangnya. Yang jelas, konsumen selalu saja sebagai korban dan menanggung kerugian.

Bukankah banyak pembeli yang belum sepakat, bahkan keberatan dan merasa dirugikan dengan penggunaan permen sebagai kembalian? Lalu, apakah kita akan diam saja. Atau, apa yang akan kita lakukan? Hmmmm. Saya mungkin akan memulai menolak mata uang permen ketika nanti hal itu terjadi (lagi) kepada saya saat membayar di kasir.
:D

21 March, 2010

Obama Anak Menteng? So What Gitu Loh!

Obama anak Menteng dan pernah sekolah di SD Menteng Dalam (Besuki). Terus kenapa memangnya?!

Saya sebenarnya sudah lama sekali menghindarkan diri untuk menulis tulisan semacam ini: Tulisan tentang Obama, seorang presiden Amerika Serikat yang pernah sekolah dan tinggal di Indonesia. Namun, saya lama-kelamaan semakin jengah dengan sikap banyak orang yang terlalu berlebihan dan norak dalam menyikapi hal ini. Ada yang mebuat tugu untuknya, mendirikan tugu si Obama Kecil yang membawa burung merpati sebagai simbol perdamaian, ada lagi yang menulis novel tentang kisah hidup Obama kecil sewaktu di SD Menteng Dalam dan akan mempersembahkannya buat Obama saat datang nanti di Indonesia. Bahkan ada yang katanya telah menciptakan lagu untuk Obama, "Bocah kecil lucu, dulu ada di sini, Barack Obama", begitu kira-kira liriknya. Astaga, apa-apaan ini?

26 December, 2009

Larang Lagi Larang Lagi


Larang lagi, larang lagi. Kayaknya melarang adalah hobi negara kita tercinta Indonesia ini. Kejaksaan (yang katanya) Agung ini, telah melarang peredaran 5 buah buku. Buku-buku ini dilarang berdar, sebab dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Katanya, mereka telah melakukan penelitian terhadap buku-buku tersebut dan buku itu dinyatakan berbahaya. Hal ini diungkapkan saat jumpa pers Laporan Kinerja Kejagung Tahun 2009 di Kejagung.

Ada 5 buku yang dilarang beredar, juga ada satu film yang dilarang putar. Perasaan Soeharto dah mati ya. Lah, kok? Jangan-jangan reinkarnasinya. Atau reinkarnasi rezimnya lahir kembali di rezim SBY saat ini. Apakah tataran bawah masyarakat kita terlalu hiporia Reformasi, atau amnesia sejarah? Sementara itu, tataran atas birokratik, rindu Orba? Sebuah pertanyaan yang menjebak!

Lima buku yang dilarang beredar itu antara lain:

1. Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa
2. Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman
3. Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan,
4. Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan
5. Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Ada yang bilang, dilarang tentu karena ada sebabnya. Jangan negatif thinking dulu.
Jelaslah, pasti ada pertimbangannya. Pertimbangan pastinya adalah, karena sejarah mau dibungkam. Lihat saja, buku John Rosa "Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto” adalah buku yang diduga paling mendekati fakta dan logika tentang kasus G-30/S. Buku ini bahkan terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007. Dunia sudah mengakui, buku ini keren, top markotop. Alasannya bukan semata-mata kontroversial dengan pendekatan yang belum pernah dipakai peneliti lain selama ini. Namun buku ini disusun dengan penelitian yang lama dan sangat teliti, mengahbiskan banyak biaya, dan risetnya mendalam. Kalau dunia saja mengakui, kenapa di Indonesia dibredel?

Sementara Buku "Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, adalah buku yang bagi saya sangat komprehensif dan netral melihat fenomena dunia tulis menulis di era itu. Dan film Balibo Five, menurut saya malah biasa saja. Bukan rahasia lagi, sudah banyak kasus seperti itu. Tanpa difilmkan pun orang sudah tahu, bagaimana militer di Indonesia, dan bagaimana mereka di daerah konflik.

Kenapa dibredel? Sebab buku-buku ini yang menuliskan kebenaran, dan negara selalu takut kebohongan dan dosa besar mereka terungkap.

Hanya buku Lekra Tak Membakar Buku dan Dalih Pembunuhan Masal yang sudah saya baca, sementara tiga di antaranya belum saya lihat bukunya. Namun, dari judul-judul buku tersebut, sudah terlihat bahwa tiga buku yang belum saya baca adalah buku yang mengkritisasi multikulturalisme, terutama agama. Bukankah, sejarah, agama, dan keberagaman, adalah isyu yang sering diinginkan seragam oleh Orba saat Berjaya dulu? Nah, mari kita lihat, ternyata benih-benih Orba muncul lagi dengan ingin membungkam dan menyeragamkan pola pikir masyarakat. Caranya adalah membredel buku yang kritis dan menganjurkan buku versi pemerintah.
Buku-buku itu dilarang beredar, bukan cuma dibatasi. Kalau alasannya adalah negara ini bukan negara liberal yang membebaskan segala sesuatu untuk diungkapkan, dan negara tidak banyak ikut campur pada ranah urusan privasi, mungkin betul. Tapi negara secara paham ekonomi politik telah menganut sistem liberal total, sejak tahun 1970-an, bahkan ketika rezim Soekarno diganti Soeharto. Sementara negara selalu mendengung-dengungkan demokrasi, pancasila dan sebagainya. Mana buktinya? Aspirasi dibungkam dan hak berpendapat dilarang. Buku-buku ini bukan cuma pendapat, tapi dukungan faktanya lengkap. Dunia mengakui buku John Rosa adalah satu dari tiga buku terbaik tentang kasus 65 di Indonesia. Negara hanya takut, dosa sejarah mereka (terutama tentara, CIA, dan Amerika) terbongkar dengan beredarnya buku ini.

Pelarangan demi pelarangan makin banyak terjadi. Belum hlang dari benak kita tentang pembakaran buku beberapa waktu lalu. Sekarang pelarangan kembali terjadi. Bahkan bagi Muhidin, ini bukan kali pertama bukunya dilarang. Buku Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur, dan beberapa bukunya yang menyinggung masalah keagamaan bahkan sempat dimusnahkan dan dia didatangi oleh beberapa organ islam, termasuk MUI yang sempat mengharmkan buku tersebut.

Penanganan hal seperti ini oleh negara, membuktikan bahwa negara seolah ketakutan dengan beredarnya buku-buku kritis dan berpersfektif berbeda dengan pemerintah. Isyu multikulturalisme, keberbedaan beragama, pembungkaman sejarah adalah isyu-isyu khas Orba dulu. Kanapa rezim SBY menghidupkannya lagi? Hmmm, rupanya hantu-hantu Orba bergentayangan di benak kita dan pemerintah kita.

Kalau perbedaan pendapat, perbedaan sudut pandang dan persfektif itu mungkin wajar. Tapi apakah pembakaran buku, pembredelan adalah tindakan yang arif? Saya adalah orang yang selalu menolak dua hal ini. Secara logika akal sehat, jika memang sebuah buku dinilai menyesatkan, dinilai salah, apakah pemikiran, riset dan usaha penulisnya akan diabaikan begitu saja? Kenapa tak lawan buku dengan buku, seperti yang pernah dilakukan Wiranto, Habibie dan Prabowo ketika mereka berdebat mengenai kejadian 98 di awal tahun 2006 lalu? Lawan buku dengan buku, lawan api dengan api.

25 October, 2009

September itu Ganjil, Kawan!

September adalah bulan yang ganjil menurut saya, tentu saja ganjil di sini bukan dengan alasan bahwa September adalah bulan ke Sembilan, tapi saya merasa banyak yang aneh dari bulan ini.

Sejak kecil, saya masih ingat waktu itu masih kelas empat SD, ketika setiap malam 30 September, saya dan kawan-kawan sekolah saya waktu itu diminta untuk menonton sebuah film, lalu keesokan harinya kami harus membuat resensi dan menceritakannya di depan kelas. Film apa lagi kalau bukan film G30-S (dulu:G30-S-PKI). Sebuah film yang dibuka dengan pembacaan kesalahan-kesalahan PKI, pembantaiannya, pengeroyokan, pembakaran masjid, Al Quran, pemberontakan dan beragam kejahatan lainnya, lengkap dengan senjatanya berupa celurit.

Sebenarnya saya tidak banyak mengingat film ini, karena sebenarnya inti dari cerita yang akan kami sampaikan di depan kelas itu hanya dua poin. Yang pertama, tentu saja PKI jahat, tidak beragama, mereka menculik jendral-jendral, lalu istri-istri mereka (Gerwani) menari-nari sembari menyilet kemaluan para jendral yang diculik tersebut untuk dijadikan mainan. Maka semboyan yang paling membuat kami merinding dan menutup mata waktu itu adalah, "darah itu merah jendral!" (saya mau iseng dikit: emang ada darah ijo? hahaha.. hus, jangan terlalu serius ah!). Lalu poin kedua yang akan kami sampaikan di depan kelas adalah: Soeharto is the last Hero! ( Hahahaha... akulah pahlawan bertopeng. Bayangkan ekspresi Shincan!). Tak lebih dan tak kurang, hanya itu yang bisa ditangkap oleh imajinasi dan daya ingat anak kelas empat SD seusia saya waktu itu: PKI jahat, dan Soeharto adalah pahlawan penyelamat. Tentu saja, doktrin itu yang paling ingin disampaikan pada usia-usia belia kami waktu itu.

Bagaimana kami tidak merinding, film ini sungguh-sungguh penuh kekerasan, dan ketika menemui film ini lagi (saat ini, setelah saya kuliah, setelah Orba tumbang, setelah Soeharto mati) saya tahu, bahwa film ini memang secara sinematografi (setidaknya penilaian awam seorang penonton setia macam saya ini) saya bilang bagus. Seringkali efek ketegangan dimunculkan dengan kaki-kaki bersepatu yang berlarian dizoom in, bibir-bibir berkumis yang berbicara sembari mengembuskan asap rokok, juga ekspresi-ekspresi kesakitan yang hampir semuanya dizoom in. Efek ini saya rasakan begitu mengerikan, bahkan hingga saat ini, ketika saya sudah tak takut tidur sendiri, ketika saya sudah banyak nonton film-film hantu Indonesia dan malah tertawa dibuatnya. Bagaimana saya yang waktu itu sangat belia tidak takut? Darah-darah jendral berceceran, orang di masjid dibantai, Al Quran disobek dengan celurit, bahkan menonton saat ini pun, saya masih merinding, sungguh. Film ini menyajikan menu kekerasan yang masih melekat hingga usia saya lebih dari dua puluh tahun. Rupanya pembuat film ini tahu betul, bahwa rekam visual membero memori yang terang pada ingatan manusia yang menontonnya. Entah, dari mana mereka belajar teori film semacam itu.

Lambat laun, saya membaca banyak buku, saya bertemu banyak orang, saya berdiskusi dengan banyak kepala, dan tentu saja (saya yakin) pembaca sekalian tahu, bahwa tidak semua yang ada di film itu benar.

Saya tidak sedang ingin membahas G30-S-PKI. Saya hanya sedang ingin bercerita, bagaimana anak seusia saya waktu itu dibayang-bayangi ketakutan sehabis menontonnya: Tidur dalam pelukan ibu saya, terbawa mimpi darah-darah, membenci lambang palu dan arit, juga menjadikan simbol itu sebagai simbol setan yang saya takuti, lalu keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami sudah harus siapmenceritakan film horror itu di depan kelas.

Sudahlah, lain kali kita bicarakan lagi. kali ini saya hanya ingin menuliskan puisi buat seorang kawan saya. Saya bertemu dia di bali di Taman 65, sebuahkomunitas kultural yang terbangun di tengah lingkungan (kampung) dengan komposisi masyarakat korban dan pelaku pembantaian 65. Puisi ini saya tuliskan untuknya malam-malam 30 September 2009, ketika saya sedang di Lombok. Malamnya saya tulis puisi ini dan saya kirim via sms kepadanya. Kali ini saya ingin membaginya dengan kawan-kawan. Inilah puisi untuk kawan saya yang keluarganya ikut menjadi korban 65 itu. Selamat membaca.

september
kepada ngurah termana

malam-malam itu
suara sepatu-sepatu itu
bunyi peluru peluru itu
golok-golok berdarah itu
teriakan-teriakan itu
hianat-hianat itu
akhir bulan sembilan itu

september 2

katamu,
di sini api berkobar-kobar
dan tuding menuding
antara dibunuh atau terbunuh
golok-golok berkelebat
lalu kepala-kepala menggelinding
tanahku jadi semerah darah
katamu

Lombok Timur, 30 Septeber 2009


Puisi ini juga saya coba terjemahkan dalam bahasa inggris, mohon masukan dan koreksinya jika ada penggunaan bahasa yang salah. Maklumlah, saya kecilnya makan kangkung dan ubi rebus, bukan wortel dan kentang, apalagi burger (hehehehe), jadi kemampuan bahas inggris saya jauh di bawah lutut.

september
to Ngurah Termana

thats nights
the voice of that shoes
the sound of the bullets
bloody machetes
thats shouts
that serpentines
in the end of ninth month



September 2

you said that,
fire was blazing here
and every people was pointing
between murdered or killed
the machetes flashed
then heads get moving to the land
my land was so bloody
you said that,

East Lombok, 30 Septeber 2009
Gambar diculik dari sini



06 October, 2009

Pak Polisi, Jangan Pukul Dong!

Hari itu, pagi pukul sepuluh, hari pertama bulan sepuluh, beberapa pemuda turun ke jalan menggunakan ikat kepala berwarna putih bertuliskan FRSM (Front Rakyat Sukamulia Menggugat). Mereka membentangkan spanduk bertuliskan "Rakyat Resah Kepala Desa Harus Mundur" dan membawa dua puluh poster dengan beraneka ragam tuntutan. Peristiwa ini terjadi di Aik Anyar, Desa Sukamulia. Sebuah kawasan yang sedang bermasalah dengan pemekaran desa di wilayah Kabupaten Lombok Timur. Segera saja, ratusan masyarakat tumpah ruah ke jalan, mebanjiri jalanan. Massa yang terkumpul hari itu diperkirakan lebih dari seribu orang, sebuah jumah yang cukup banyak untuk masa aksi di sebuah kampung kecil yang jauh dari pusat pemerintahan. Mereka sama sekali tak gentar berpidato lewat megaphone, meskipun telah puluhan barisan polisi menghadang mereka, lengkap dengan pakaian kebesaran mereka dan wajah sangar yang sama sekali tak mengumbar senyum sedikitpun. Tiga puluh menit kemudian. Suasana sudah berubah. Aku dan Sembilan orang lainnmya tertangkap.

****

Aku duduk diam sembari memaki dalam hati. Di depanku seorang kawan demonstrasiku terkapar tidak berdaya setelah dikeroyok barisan polisi berseragam. Persis seperti gaya preman mengeroyok tokoh utama dalam film-film yang kerap kita tonton di kotak ajaib bernama televisi itu. Bahkan, seorang polisi yang mengaku dirinya kepala unit Buser di Polres Lombok Timur sempat menantang kesepuluh di antara kami untuk berduel di Rambang (sebuah pangkalan TNI AU di dekat pantai di Lombok Timur).

"Kalian mau lapor siapa, hah? Lapor sama malaikat pun aku tidak takut" Begitu ucap laki-laki sialan itu dengan nada sombong. Kalau saja ia sendirian dan aku sendirian, ingin kusumpal mulutnya dengan sandal jepit yang telah putus talinya ini, lantaran diinjak sepatu-sepatu both saat kami digerebeg. Sialan, aku tak henti-hentinya memaki dalah hatiku. Aku belum pernah seumur hidup diperlakukan biadab seperti ini oleh polisi.

Pasalnya sepele saja, kami melakukan aksi demonstrasi di desa kami. Kami telah melayangkan surat pemeberitahuan sehari sebelumnya. Namun hal ini ditolak mereka, karena demo atau unjukrasa harus mengantongi surat ijin, katanya. Fuih, sejak kapan negara demokrasi meminta rakyatnya untuk berijin melakukan unjuk rasa? Selama bertahun-tahun di Jogja, aku tidak pernah minta ijin untuk unjuk rasa, termasuk di kampus atau di mana saja. Aku terus saja memaki dalam hati. Sejak gerombolan polisi itu menangkap kami bersepuluh. Mereka menuduh kami provokator, padahal, kami yang menggerakkan masa secara sadar, padahal di awal orasai, kami telah menyatakan aksi damai, padahal mereka yang lebih dahulu mendorong kami dan merampas megaphone dari kami. Padaha, mereka yang anarkis, padahal mereka yang kurang ajar!

Aku sedang duduk kesal, sembari merasakan beberapa nyeri dibadan akibat dipukul dan dijambak saat ditangkap, pun saya dipukuli saat saya berdebat dengan mereka di atas mobil patrol, ketika tiba-tiba sebuah tendangan lutut yang sangat keras menghantam mulutku. Bibirku pecah, gigiku ngilu dan darah muncrat, lalu polisi itu lari keluar ruangan dengan berkata "Sakit ya? Maaf ndak lihat!" Aku hanya bisa merasakan rungan yang seolah berubah menjadi kapal yang terombang-ambing di tengah samudra. Aku pusing, aku memilih bersandar dan terasa akan segera pingsan. Lalu, salah satu dari dua adik kandungku yang juga ikut tertangkap berbisik padaku. "Ary Aryana namanya!" Ary Aryana, aku sebut nama itu, nama yang menggaung di kepalaku yang pusing. Ary Aryana nama pengecut itu. Seorang polisi printis yang menendang mulutku, lalu ngacir entah ke mana.

****

Saya tidak sedang ingin curhat dan berbagi sakit juga kekesalan, sebab jika berbagi kesakitan dan kekesalan, ada kawan-kawan saya yang lain, yang lebih menderita sakit. Ada yang dikeroyok, ditendang dadanya, diseret di aspal hingga berdarah lututnya. Tidak, saya tidak sedang ingin membagi sakit dan kesal. Saya hanya ingin menyatakan, bahwa saya sungguh sangat membenci militerisme! Saya mengutuk segala bentuk kepengecutan dan segala bentuk kebanggaaan atas seragam yang sama sekali tak membuat saya takut.

Jika rasionalitas pikiran yang saya kemukakan di atas mobil patroli dilawan dengan otot dan pukulan, maka otomatis kita sedang memupuk dan menyirami kekerasan yang kelak akan berbuah brandalisme dan premanisme, alias represifitas tanpa alasan. Apakah kekerasan kini sudah menjadi bagian budaya kita? Benarkah kekerasan yang terbentuk merupakan produk dari struktur? Ataukah kekerasan sudah dianggap sebagai alat yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dan membungkam? Apa pun faktor penyebabnya, kekerasan tetaplah sebuah kejahatan. Saya tidak pernah bisa menerimanya. Seharusnya, melallui aparat kepolisianlah, hukum mesti ditegakkan. Karena aparat kepolisian merupakan masyarakat sipil yang merupakan pelindung dan pengayom masyarakat juga pemelihara keamanan dan ketertiban. Bukan tukang pukul atau algojo pemerintah.

Yogyakarta,3 Oktober 2009

Foto dari sini

06 August, 2009

Saya butuh secarik puisi

“Saya sedang butuh secarik puisi.” Begitu seorang kawan sering berucap padaku. Lalu aku akan berubah jadi patung tolol yang bisu, selalu bingung untuk mengabulkan permintaan itu. Membiarakan angin berlalu begitu saja. Aku merasa jadi makhluk paling bodoh. Aku tak pernah bisa menulis puisi instan, layaknya sebuah kopi pesanan pelanggan di sebuah warung kopi di tengah kota yang bising. Padahal, banyak sekali orang bisa melakukan hal demikian. Membuat puisi pesanan seorang teman, atau sesekali untuk membantu merayu seseorang. Hmmm… hal ini barangkali sederhana, namun tidak bagi saya.

Saya tidak sedang ingin memperdebatkan esensi penyair dan penulisan puisinya, atau kontroversi sebuah buku best seller dengan pengarang rahasianya. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa puisi seringkali menjadi obat yang paling mujarab untuk sebuah situasi batin yang tak pernah bisa tersembuhkan dengan obat lain. Itu saja. Saya sedang tak ingin bercerita panjang lebar.

Barangkali saya berlebihan, tapi setidaknya itu yang kerap saya rasakan. Kadangkala puisi itu magis, namun sesekali juga menyebalkan. Kerap kali menjadi obat, namun kerap kali bikin kecanduan. Saya hanya bisa menasehati diri saya: nikmatilah, tak ada yang salah dan tak ada yang perlu kamu besar-besarkan. Nikmati saja nafsu dan gairah menulismu, jadikan ia anak kandung dan cintailah. Dan setelah itu, saya akan terdiam, lalu kembali menjadi manusia biasa yang lapar, haus dan mengantuk, butuh kopi dan jalan-jalan.

Saya kerap merasa, bahwa bermain-main dengan puisi adalah hal yang percuma dan sungguh tak berarti.

Lalu kenapa saya harus menulis ngelantur seperti ini? Baiklah, saya sedang tidak punya banyak energi untuk mengobrol dan bercerita panjang lebar. Saya butuh diskusi dari kawan-kawan. Kita kerap kali kita tak pernah tahu apa yang ingin kita ungkapkan, melainkan isi kepala kita sedang berkeliaran dan bermain di kepala orang lain dan ingin sekali masuk kembali ke kepala kita lewat diskusi.

***

Aku sedang butuh secarik puisi
untuk menimang arti sebuah pertemuan dan perpisahan
Juga cerita-cerita lumpuh kita yang seringkali tak tertuliskan
Sementara kita bergelut
antara mimpi dan kehidupan yang kadang terasa tak bercakrawala
sebagian orang melakukan banyak kebohongan,
memutar berita menjadi fakta-fakta ganjil yang tak rasional.
Beradu argumen dan menggerakkan ratusan orang tak jelas orientasi ke sana kemari.

Mana puisimu sobat?
Saat ini, kirimkanlah untukku…
cerita-cerita masa kecil konyol yang membuat geli dan ingin tertawa,
tentang mimpi terbang ke rembulan
atau menjadi raja dari sebuah kerajaan di bawah pohon depan rumah kita, bersinggasana batu dan berakyatkan teman-teman sepermainan

Oh, bukankah hidup terlalu singkat, lalu kita tak pernah tahu asal-usul dan masa depan takdir?
Mari rayakan hidup gundah ini dengan bercerita puisi-puisi: mari kita jejaki, karena dongeng-dongeng dan pidato sungguh tak pernah abadi.
Jangan jadikan aku hantu yang bergentayangan dengan menceritakan banyak kebohongan
Mari kabarkan padaku, sebuah berita yang tak pernah usai
Berita-berita sendu, tentang kau dan aku yang bercerita pada semesta
Menolak kebohongan dan ketidak jelasan segala perkara

Aku hanya butuh secarik puisi
Sediakanlah pula kopi
untuk kita berbincang dan menulis hingga pagi hari nanti

Denpasar, 1 Agustus 2009

08 April, 2009

Kalian dan Saya: Saya Pilih Diri Saya Sendiri

TIBA-TIBA saja kalian datang, bergerombol, membawa banyak senyum dan wajah gembira. Wajah tanpa dosa dengan hiasan ramah-tamah.


Tiba-tiba kalian mengaku saudara, mengaku kerabat, mengaku sependeritaan, mengaku satu mimpi, lalu satu tujuan bersama dengan saya. Wah, padahal saya tidak kenal sama kalian. Kalian saja yang tiba-tiba nongol dan menawarkan diri. Sok kenal dan sok baik. Padahal sebelumnya, mana pernah kalian ada untuk saya. Kalian ini, ada-ada saja. Tidak punya malu ya?
Kalian ajak saya bergembira. Kita rayakan demokrasi, begitu katamu. Mari memilih untuk untuk tujuan bersama! Bah, tujuan bersama apa? Yang jelas kalau bicara! Tujauan apa? Bisa kalian jelaskan dengan detail tujuan itu? Kemakmuran maksudmu? kemakmuran itu kue kering manis ya? Atau buah-buahan?


Waaah, orang tua saya sudah capai cari uang untuk sekolah saya. Mana pernah kalian bantu, sekolahku makin mahal, perlu banyak biaya untuk beli buku pelajaran adik-adik saya. Ibu mengeluh, harga beras naik melulu, bapak merengut, kalau mau kerja, motor harus disi bensin dengan harga mahal. Seringkali bapak mendesah; negara penghasil minyak kok minyak mahal, minyak naik bukannya sukur dapat subsidi malah ikut bayar mahal. Ada-ada saja ya kalian ini.


Nenek sudah tua, tidak berani ke rumah sakit, mahal ongkosnya, beli obat bisa bikin saya sekeluarga puasa delapan belas kali bulan purnama.


Sekarang kalian datang. Masih dengan tiba-tiba. Datang bawakan kami mimpi. Bilang kalau kalian saya pilih, kalian bakalan bikin hati saya bahagia. Oh ya? Dulu bapak saya juga katanya kalian janjikan begitu. Nenek saya, tetangga-tetangga saya, paman, sepupuku, kakak dari bibinya saudara sepupu anak tiri saudara paling tua bapak saya (bingung, kan?). Buktinya kemarin saja si Imin kena PHK, Pak Anto sakit demam berdarah tidak bisa bayar di rumah sakit. Lah bagaimana dong? Coba, coba bikin saya percaya. Biar saya yakin coret muka kamu di TPS besok pagi.


Kalian ini memang suka melucu ya, melucu dan tidak tahu malu. Pasang poster sana-sini pakai gaya yang paling narsis, buang-buang duit cuma buat minta dipilih. Saya saja tidak pernah mengemis, kalian mengemis. Kalian sms saya, kirimkan lewat email, kirimkan juga kalender ke rumah saya, stiker, uuuh! Kalian tempel sembarangan di pagar rumah. Benar-benar tidak sopan! Motor lagi parkir kalian tempelkan stiker norak beraneka warna, kurang kerjaan sekali ya!!!


Kalau mau dipilih, ya minta saja bapak kalian, anak kalian, istri-istri kalian, temen-temen kalian. Bukankah kita tidak pernah saling kenal? Bukan saudara, bukan tetangga, kalian enak-enak saja senyam- senyum sambil minta dipilih. Paling-paling kalau sudah saya pilih, kalian lupa. Baru ingat lima tahun lagi, kalau di kampung saya banyak yang milih kalian.


Coba, coba beri saya bukti. Murahkan sekolah saya, bensin motor saya, beras ibu saya, rokok bapak saya, obat nenek saya, buku adek saya. Bisa? Bisa kalian murahkan semuanya? Jangan PHK teman saya, jangan pecat sepupu saya. Obati tetangga saya, kasih susu adik-adik saya. Bukankah kalian telah menawarkan sebuah negara imajiner pada saya? Sebuah mimpi utopis buat saya dan keluarga?


Ayo, ayo jelaskan, lalu buktikan. Biar saya mantap besok pagi pegang pena coret muka kalian! Kalau tidak bisa, ya sudah. Besok pagi saya tidak mau milih kamu. Saya pilih diri saya sendiri.




Kos-kosan, 8 April 2009
Irwan Bajang

10 November, 2008

Omelan Seorang Korban Bom Bali

Akhirnya ia mati juga, di tembak regu eksekusi! Mampuslah kau di neraka wahai Amrozi dkk.

Aku tidak akan memaafkanmu,tidak akan pernah. Meskipun kau telah mati, dan dengan tidak memaafkanmu, aku tahu kau tidak akan pernah tenang di kuburmu. Bukankah kau lebih tahu, kalau Tuhan tidak pernah akan memberimu surga, jika dosamu pada manusia belum kamu tebus? Dan sekali lagi, aku tidak akan pernah memaafkanmu.

Kalau diizinkan menghukummu, aku tidak akan pernah memberimu hukuman mati. Itu terlalu ringan bagimu. Kalau boleh aku ingin menyiksamu, mengiris wajahmu, mencambukmu, lalu memotong tangan dan kakimu. Agar kau merasakan hal yang setimpal denganku; hidup tersiksa selamanya tanpa tahu kapan penderitaan berakhir, dan berniat mengakhiri hidupmu.

Kau tidak pernah menderita semenderita aku.
Apa salahku? Dan kenapa kau mencelakaiku. Jihad? Tai kucing dengan jihadmu!

Waktu itu aku sedang liburan ke Bali. Hari yang sial dan terkutuk. Kami baru tiba di pulau itu, dan semuanya terjadi begitu cepat. Kami tidak pernah bermimpi. Setelah menabung sekian bulan uang jerih payah dan banting tulangku serta suami, kuajaklah keluargaku berlibur ke pulau yang kau benci itu. Belum sempat kami menikmati sun set di Kuta, atau indahnya Tanah Lot, dan kalian telah merenggut semuanya. Bajingan kau Amrozi! Tuhanku mengutukmu.


Tiga anakku mati seketika, aku beserta suami cacat permanen dengan jihad brengsekmu itu! Sementara kau? Hanya di penjara dan dengan tenang meregang nyawa, hanya sepuluh menit mengerang setelah ditembak. Dan dalam keyakinanmu, arwahmu dibawa burung-burung terbang menuju nirwana. Surga yang kau idam-idamkan dengan membunuh keluargaku. Mengahancurkan masa depan ratusan orang. Membuat sedih ratusan keluarga dan menghancurkan penghasilan ratusan orang.

Itu yang kau sebut Jihad? Berteriak Allahuakbar, sambil meluluhlantahkan pekerjaan orang?
Berteriak Lailahailallah sambil meremukkan kepala anak-anakku? Mengancurkan lengan kiri suamiku, membuatku hidup tanpa punya harapan sedikit pun. Itu yang kau sebut Jihad, Bajiangan?!

Kau mati dan dianggap mujahidin oleh golonganmu! Tai kucing itu semua. Aku menganggapmu pahlawan biadab. Karena wajahku yang dulu bisa tersenyum untuk suamiku, kini telah rusak parah gara-gara jihad bodohmu itu. Gara-gara keyakinanmu yang sungguh begitu egois.

Aku juga muslim, sama sepertimu. Mengucap kalimat syahadat, solat lima waktu, percaya pada malaikat dan kitab-kitab langit. Aku naik haji dan memberi makan kaum miskin, berpuasa dan bersyukur kepada Tuhan, sama seperti kau. Lalu, apa salahku? Apa salah suami dan ankku? Saat kau dengan nistanya berteriak Tuhan Maha Besar sambil meledakkan kepala putriku. Membiarkan darah dan otaknya berhaburan kewajaku yang langsung disambut api setelah terpelanting jatuh ke aspal. Kau tidak merasakannya!!!

Tuhanku (Tuhan yang mungkin juga kau akui) pernah bilang, “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Lalu apa urusanmu dengan orang yang ingin kau bunuh itu? Apa rumahmu sudah bersih? Apa keluargamu sudah taat semua, dan apa kau jauh lebih baik dari mereka yang kau binasakan? Adakah kau tahu itu? Bahwa mereka lebih berdosa dari kamu? Atau kamu merasa dirimu Tuhan?

Kau menjadikan dirimu lebih sombong dari Tuhan. Lebih egois dari ajaran fundamental yang kau yakini. Surga yang kau bayangkan tidak akan pernah kau dapatkan. Aku tetap berdoa pada Tuhan untuk mengekalkanmu di neraka jahannam! Amin.