04 February, 2009

Niskala: Trauma Sejarah yang Berkepanjangan


Judul buku: NISKALA “Gajah Mada Musuhku”
Penulis: Hermawan Aksan
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, 2008
Tebal: viii+289 halaman
Resensi Oleh: Irwan Bajang


Memadukan fakta sejarah dengan fiksi dalam sebuah novel adalah sebuah pekerjaan yang tak bisa dibilang gampang. Tidak banyak penulis Indonesaia yang mampu melakukannya. Barangkali Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu yang terbaik. Penulis yang lebih banyak menghabiskan hidup dan proses kretif kepenulisannya di tanah buangan Pulau Buru. Pram dengan piawai menyajikan kisah Singasari lewat novel Arok-Dedes. Kisah kerajaan Mataram melalui roman Arus Balik. Dan Bumi Manusia, episode pertama dari tetraloginya paling popular yang melambungkan namanya. Di karya yang tersebut terakhir it, Pram dengan kuat menggambarkan seorang tokoh pers pertama indonesia, Raden Mas Tirto Adi Suryo. Penulis lainnya adalah Remy Sylado, Langit Kresna Hariadi dengan serial Gajah Mada-nya dan tentu saja Hermawan Aksan.

Hermawan Aksan, seorang wartawan di Jawa Barat ini, memiliki beberapa kesamaan dengan Langit Kresna Hariadi, mereka sama-sama menulis kembali riwayat Gajah Mada. Hanya saja, Hermawan mengambil sudut pandang yang sama sekali berbeda, yakni sudut pandang orang Sunda. Dalam novel Niskala ini, Ia menceritakan secara dramatis, pergolakan batin seorang Putra Mahkota Kerajaan Sunda.

Dyah Pitaloka yang konon bunuh diri di padang Bubat saat rombongannya dicegat dan dibantai oleh pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa yang kemudian kita kenal sebagai Perang Bubat; sebuah perang yang menimbulkan luka sejarah di antara orang Sunda dan Jawa. Bahkan bekasnya masih terus terasa hingga kini. Jangan harap kita bisa menemukan nama jalan Gajah Mada, Majapahit, Hayam Wuruk, atau segala hal yang berbau Majapahit di kota Bandung serta kota-kota Jawa Barat lainnya. Betapa perang bubat telah meninggalkan luka historis yang berkepanjangan bagi orang Sunda.

Cerita Perang Bubat sendiri, telah ditulis Hermawan Aksan dalam novel Dyah Pitaloka pada tahun 2005. Ia tampaknya tidak puas dengan buku sebelumnya. Ia kemudian melanjutkan ceritanya dalam novel terbarunya ini, Niskala “ Gajah Mada Musuhku”

Niskala adalah nama adik lelaki Dyah Pitaloka yang sewaktu ditinggal pergi kakaknya itu masih berusia sembilan tahun. Kematian ayahanda dan kakak semata wayangnya di tegal Bubat akibat ulah Gajah Mada diam-diam telah memupuk benih dendam dalam hatinya. Dan tujuh tahun kemudian ia memutuskan mengembara, sebagai mana layaknya putra mahkota di hampir seluruh kerajaan di nusantara pada waktu itu. Namun sungguh tujuannya bukan hanya mengembara, melainkan mencari seorang Mahapatih yang terkenal sakti mandraguna, Maha Ppatih Gajah Mada. Sang Bocah Niskala ini ingin menantangnya bertarung untuk menghempaskan dendam akibat kematian ayah dan kakaknya. Ia berangkat menuju majapahit untuk bertemu dengan seorang yang membuat ia kehilangan keluarganya; Gajah Mada.
Dari sinilah, kisah apik di ceritakan dengan lancar oleh penulisnya. Termasuk pertarungan para pendekar-pendekar sepanjang perjalanan.

Membaca novel ini, kita seolah disajikan sebuah cerita silat yang sering kali kita tonton dalam film-film kolosal seperti Angling Darma, Brama Kumbara, Misteri Gunung Merapi, Saur Sepuh, Tutur Tinular dan beberapa kisah silat Indonesia era sembilan puluhan lalu. Beberapa pengulangan perkelahian memang terkesan monoton, namun bagi sebagian pembaca yang doyan cerita silat, kerinduan akan kurangnya buku-buku serial silat Indonesia saat ini akan dapat terobati. Di setiap perjalanan, Niskala bertemu banyak pendekar yang selalu mengajaknya berkelahi dan mengadu kekuatan. Sebuah pengalam berkelana yang mengasikkan untuk dibaca.

Hingga pada akhirnya, si Niskala bertemu dengan sang Maha Patih yang ternyata sudah tidak sesakti dahulu lagi. Umur telah menelan kedigjayaan masa muda Gajah Mada.

Barangkali Niskala Tidak bisa di pakai sebagai sebuah rujukan yang kompleks tentang sejarah hubungan tidak harmonis kerajaan Sunda dan Majapahit. Novel ini lebih banyak mengajukan suguhan cerita fiksi ketimbang fakta sejarah, meskipun di dalamnya terdapat nama dan peristiwa yang berhubungan erat dengan riwayat Majapahit serta Kerajaan Sunda yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Namun Niskala telah menambah perbendaharaan novel sejarah klasik Nusantara. Terlepas dari kompleksitas acuan Pustaka yang dipakai untuk menulisnya, Hermawan Aksan mengobati kerinduan akan bacaan buku cerita kolosal melalui sudut pandang yang sama sekali berbeda dengan novel-novel sejenis lainnya.