31 May, 2009

The K: Petualangan Manusia Sintesis di Indonesia Tahun 2200

Judul Buku: The K
Penulis: Kesit Susilowati
Terbit: Mei 2009
Jumlah Halaman: xxi+439

“Aku tak tahu pasti, entah bagaimana ceritanya...”

T’xela menahan kalimatnya. Haruskah aku cerita bahwa seharusnya akulah yang berkalung maut itu. Karena aku seorang mansis,manusia sintesis dengan berbagai keunggulan dan sangat ideal untuk segala misi, yang mustahil sekalipun. Karena seorang mansis adalah JIWA TIADA HARGA. Harganya adalah semua dana yang dihabiskan selama penciptaannya.

Aku bukan Homo Sapien! Aku adalah fantasi DNA Bernyawa Berjiwa Tapi, tak ada yang melihat Karena semua menganggapku sebagai hasil dari tipu muslihat.


Apakah Anda termasuk orang yang suka sekali menonton film-film hollywood? Film berteknologi mutakhir, dengan alur mencekam dan kisah-kisah tak biasa, aneh, baru dan sungguh memikat. Atau Anda termasuk pencinta bacaan-bacaan cerdas yang memukau. Anda senang berkunjung ke toko buku mencari referensi lain dari novel-novel Indonesia. Namun Anda kecewa dan tak mendapatkan apa-apa.

Jangan kecewa dulu, balik lagi ke toko buku langganan Anda lalu lihatlah sebuah cover berwarna putih, berhiaskan awan dan sebuah gambar tangan sedang mencengkeram sesuatu. Ambil dan bayarlah di kasir segera. Lalu bergegaslah pulang untuk membacanya. Jangan lupa kunci kamar dan nyalakan lampu yang lebih terang. Maka anda akan terpukau, menikmati bab demi bab, lembar demi lembar buku itu. Sebuah buku yang bercerita tentang petualangan dua sahabat: Txela dan Qwanta. Petualangan di Indonesia pada tahun 2200. Apakah Anda bisa membayangkannya?

Apa? Indonesia tahun 2200?! Memang apa yang terjadi di era itu? Maka K akan menjawab: planet-planet berevolusi. bumi makin renta. berubah secara total dan cepat, tak terduga. drastis. kutub utara dan selatan mencair. khatulistiwa timbul tenggelam dalam gelombang lautan. udara asam. polusi. badai datang tak terduga. dunia semakin renta, tua. manusia-manusia rakus pengetahuan menabrak nilai, memporak-porandakan tatanan kehidupan. mencipta manusia-manusia sintesis. merebut dominasi Tuhan. merekalah, inohedonist; mereka mempercepat kiamat

Lalu Anda akan semakin penasaran, membalik-balik lembaran buku itu, menemukan sebuah cerita tentang MANUSIA SINTESIS, MANUSIA KLONING, yang hidup tanpa punya harga diri. Harga diri mereka hanya sebatas biaya yang dipakai untuk memproduksi mereka. Dan hal ini terjadi bukan lagi di Amerika, bukan lagi di Eropa dan negara-negara maju lainnya. Tapi di INDONESIA, Indonesia yang saat itu telah berubah jauh, menjadi negara dengan cuaca yang tak menentu, iklim yang buas; ancaman badai yang bisa datang kapan saja tanpa terduga.

Ini adalah buku dengan setting yang dekat, cerita yang dekat pula dengan masyarakat kita. Namun tak pernah biasa, karena objek yang dibidik adalah objek yang berbeda. Maka teruskanlah membaca sampai usai.
Anda mungkin tidak akan percaya kalau buku fantasi futuristik ini lahir dari tangan seorang warga Indonesia. Dominasi media Barat serta nyaris tak adanya penulis lokal dengan tema sains yang mendalam dan jenius membuat kita lupa bahwa penulis Indonesia juga cerdas. Buku K ini adalah buktinya. Anda tak akan percaya buku ini ditulis oleh orang Indonesia.

***

Beberapa tanggapan untuk The K

"Mendebarkan, menjebak, dan liar. Inilah novel saintifik pertama di Indonesia yang menghubungkan dimensi manusia, bumi, atmosfer, dan antariksa dengan sangat cermat dan tepat. Penulis begitu piawai menyulap fenomena yang jauh dan tak terbayangkan menjadi amat dekat dan logis bakal terjadi di dunia masa depan. Ditulis dengan bahasa yang renyah mengalir, novel yang memotret rekayasa teknologi dengan detail ini, enak dibaca oleh siapa saja."
Erma Yulihastin, Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Ketua Forum Lingkar Pena Bogor.


“The K dipenuhi dengan neologisme dan teknik narasi yang agak jarang ditemukan pada novel pada umumnya, tema lingkungan, manusia sintesis, overpopulation, alusio dunia buatan pada situasi Indonesia, perubahan iklim yang ekstrim, sentimen rasisme pada kaum minoritas yang dianggap superior, kemiskinan, pembodohan sistematis, represi, pertentangan pada kaum konservatif, supremasi kelompok agama tertentu. The K memaparkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin menjadi “bom waktu” di masyarakat kita, bukan Indonesia, tapi juga Dunia.
Calvin Michel Sidjaja, novelis pemilik blog www.republikbabi.com

22 May, 2009

jalan pulang

M. Irsyad zaki


*
Di satu pagi,
aku ingin selembar kartu pos tergeletak di bawah pintu,
dan di pojok kanan atas tertempel perangko kotamu,
pengirimnya adalah kamu, nama pendekmu itu, bersama tulisan berantakanmu,
biar aku baca di bawah langit-langit kamarku,
terserah, tentang berita sedihmu, atau juga sebaliknya: cerita gembiramu
aku ingin sehelai kartu pos teronggok di bawah pintu rumahku,
berisi kabar-kabar tentang jalanmu yang makin jauh, pengembaraanmu yang makin kacau, juga celana jeansmu yang makin bau dan lembab, lengkap dengan gatal-gatal tubuhmu yang jorok.

**
Sepertimu, demikian juga aku, mengembara makin jauh, melamun makin kacau,
dan insomniaku makin akut, juga tuhan-tuhanku makin mengabur,
o, kau pasti tahu,


***
Aku mengukir dan meninggalkan tanda di setiap tapak yang aku jejak, menadai satu demi satu, meninggalkan prasasti tumpuk demi tumpuk, prasasti yang kelak dapat aku urai, saat kita makin renta dan tak kuat lagi mengembara,
o, kau juga pasti tahu.

****
Aku hanya ingin kau bercerita,
pendek saja,
tentang wajah-wajah asing yang kau temui, lorong demi lorong, tanah demi tanah,
juga lapak demi lapak,
tentang kau yang berhenti sejenak saat hujan, berteduh setiap panas,
lalu melangkah lagi ketika hujan mulai reda, jika panas melembut jadi hangat

*****
Biar kusimpan kartu posmu, lalu melanjutkan lagi perjalanaku, sembari menggumamkan harap dalam dengung mulutku
: semoga kita tak pernah lupa jalan pulang.

******
Biar saja jalan makin sepi, biar saja pagi makin dingin,
aku mengadu pada alam semesta
o, semoga kita tak pernah lupa jalan pulang.

Mei 2009


gambar culikan dari sini

10 May, 2009

Wawancara Imajiner Saya dengan Adam

Adakah kau lebih setia dari Adam,
Menyusul Hawa turun ke bumi
Tak mau sendirian di surga?
Adakah kau tak seberahi Adam,
Tak bisa sendiri tanpa perempuan
bahkan meski itu di surga?
Lalu adakah surga begitu indahnya di benakmu?
Bukankah Adam lebih memilih Hawa daripada surga
Mei 2009

DALAM cerita di kitab-kitab Samawi, setidaknya sering kita dengarkan kisah yang sama. Meskipun ada sedikit perbedaan. Adam diciptakan sebagai manusia pertama oleh Tuhan (Allah dalam bahasa Arab, Yahweh dalam bahasa Ibrani) yang kemudian diusir dari surga lantaran memakan buah terlarang; Huldi. Lalu mereka terbuang dari surga dan menjadi cikal bakal manusia di muka bumi. Beranak pinak, lalu menjadi aku, kamu dan kita semua. Tentu saja argumen ini tidak bisa kita pakai kalau kita berbicara dengan seorang Darwinis atau orang yang tidak mengakui kitab-kitab suci Samawi. Berikut adalah pengakuan Adam yang saya rekam dalam wawancara imajiner saya tentang kesetiaan.
Silakan disimak
“Siapa yang paling setia di muka bumi ini?”
“Saya.”
“Dengan agumen?”
“Saya meninggalkan surga Demi Hawa. Padahal saya tahu bahwa dengan mengikutinya memakan buah Huldi, maka kami akan melanggar ketentuan Tuhan, dan saya paham betul resikonya.”
“Alasan lain? Cintakah itu namanaya?”
“Tidak sepenuhnya. Karena surga yang dijanjikan pada kalian sungguh berbeda dengan surgaku yang dulu aku tempati. Masih ada larangan dan masih ada kekurangan (baca: Huldi dan Hawa). Bukankah Tuhan menjanjikan kalian surga yang abadi? Buktinya aku masih bisa terusir.
Sebenarnya tidak murni cinta pada Hawa yang mebuat aku mau makan, tapi Huldi lebih menjadi sebuah penjara pikiran saya yang sengaja diciptakan Tuhan. Tuhan menciptakan saya dengan nafsu dan pikiran, juga sifat tergesa-gesa. Maka dengan memberikan larangan berupa Huldi, saya sesungguhnya telah tahu bahwa ini adalah skenario pengusiran saya dari surga. Saya hanya menunggu waktu saja saat itu. Saya sudah pasrah.
Betapa tidak mungkinnya saya menjadi malaikat yang patuh. Mengabaikan nafsu dan pikiran saya dari mendekati buah Huldi itu. Tuhan memang cerdas. Perencanaan pengusirannya sungguh tidak kasar, terselubung dan penuh teka-teki. Saya terjebak dalam penciptaan yang disempurnakan Tuhan. Sekali lagi saya tegaskan, pengusiran saya adalah skenario lama bikinan Tuhan".
“Gitu ya, Mas Adam? Lalu apakah Hawa lebih idah dari surga?”
“Pasti. Hawa jauh lebih indah dari segalanya.”
“Wanita racun dunia. Apakah anda sepakat?”
“Tentu saja sepakat. Racun itu jauh lebih menarik daripada madu, tapi sedikit orang yang mau mencobanya. Di mana-mana orang sudah tahu, madu itu manis dan menyehatkan. Tapi adakah yang bercerita tentang keindahan dan kenikmatan racun. Hanya saya yang berani!”
“Baik, terimakasih atas waktunya.”
“Sama sama.”
Para pembaca yang budiman, itu tadi sepenggal wawancara saya dengan Adam.
Mudahan bisa menjadi sebuah bahan diskusi kita di topik kali ini.
Salam hangat.
9 mei 2009



06 May, 2009

magrib

Bunga-bunga padang tebu yang memutih ini,
menceritakan sepi sore hari
lewat desau angin yang meniup dingin
menjalar di dinding hati
lirih mengalun di rongga hati yang sepi


Sehabis solat magrib Tak ingin aku berdoa : malu di dada menyesak-liar membabi buta

Ia datang lagi mencekam
membopong paksa meski perlahan
Galau, aku tidak sedang ingin berteriak
Hanya ingin lirih saja berucap pelan
:Sehabis solat magrib Tak ingin aku berdoa, malu di dada menyesak liar-membabi buta

Lalu di pelataran ini aku meringkuk
mendengkur
tanpa doa sebelum tidur
tanpa munajat

Aku begitu sombong

2009

gambar diambil dari sini