Showing posts with label Cerita Pendek. Show all posts
Showing posts with label Cerita Pendek. Show all posts

19 December, 2009

Tak Kau Tahu

Kau tidak pernah tahu. Aku belum bisa mengatakannya sekarang; di awal surat ini. tapi akan aku katakan di ujung tulisan ini. (Eits, kamu tidak boleh melihatnya. Baca saja urut seperti aku menulisnya. Oke? Mari kita lanjutkan!)

Ini surat cintaku yang pertama. Pertama menulis, pertama pula untukmu.

Kita pernah saling mengenal. Kau tahu itu.

Persinggungan panas dan air laut, adalah asal muasal uap menjadi hujan. Hujan yang deras berawal dari air yang terlalu banyak menanjak, menjadi awan yang berat. Awan tak kuat menahan uap air, maka jatuhlah hujan. Itu yang terjadi pada kita. Pertemuan kita menjadi awal untuk perpisahan yang mungkin akan lama. Perpisahan awan dengan uap yang dikandungnya.

Aku ingat saat kita berkenalan. Pandanganmu aneh. Aku mengenal jenis pandangan itu. Kau tidak pernah bisa menipu mataku. Aku terlalu paham bahasa mata. Apa lagi mata yang ganjil seperti matamu. Dan kau membuktikannnya sehari setelah jabat tangan yang kau anggap berkesan itu. Kau mengagumiku, katamu. Aku melambung, hanya sejenak tapi. Aku tak pernah mau menikmatinya. Aku tak bisa menikmati rasa melambung yang kau ciptakan.

Dari situlah, cerita berat harus aku jalani. Menjadi kekasihmu adalah hal yang berat bagiku.

Barangkali kau menganggap aku… akh, berat sekali aku mengungkapanya. Baiklah. Kau harus tahu sifatku; aku lelaki kacangan, terlalu mudah jatuh cinta, aku terlalu lemah untuk bertindak. Kalau aku tak salah rasa, aku yakin kau sangat mencintaiku. Benar, kan? Lagi-lagi kau tidak bisa berbohong dengan tatapan matamu, ditambah senyummu. Akuilah kau sangat mencintaiku.

Lalu kita berpacaran. Sebuah hubungan aneh yang tiba-tiba. Kau mengucapkan terimakasih karena telah aku pilih, dank au mengucapkan cinta juga.

Tapi jangan marah kalau aku sebenarnya berat untuk menjalaninya. Ini kesalahanku karena tak tegas dahulu; sesungguhnya aku tidak pernah mencintaimu. (tolong, tolong jangan salahkan aku. Bukannya aku tak tahu diri, aku memang tidak bersalah. Begitu juga kamu. Keadaan saja yang membuat semuanya seprti ini. biarlah… waktu akan menjawabnya)

Kau tentu tidak pernah tahu. Biarlah aku katakan sekarang. Yang mengucapkan cinta padamu dulu bukan aku. Tapi temanku. Maafkan aku.

NB:

Malam ini aku berangkat menuju laut. Tolong, jangan cari aku. Jangan rindukan aku. Aku tak pernah mencintaimu.

Yogyakarta, 2008.

26 November, 2009

Ode untuk Aria

Sebab aku mengikuti setiap isyarat hatiku untuk mengenangmu, Aria, maka aku yakinkan kau bahwa aku mencintaimu.
Sebab aku adalah kembara, maka aku akan segera pulang untuk dirimu, Aria.
Tahukah kau, di setiap jejak yang kupijak, kucipta jutaan puisi untuk namamu. Aku yakin, aku lahir dari sebuah nama yang dulu pernah hidup bersamamu.

Kita telah bereinkarnasi bersama, setelah jutaan tahun terpisah, Aria. Jika dulu kau adalah Hawa, maka biarkan aku percaya, aku adalah Adam yang dicipta Tuhan. Aria, malam ini ijinkan aku menemuimu, menemuimu dan membaiatmu sebagai sebuah nama cinta.

Aku telah lama meleburkan diri dalam malam-malam dan pagi yang tak kunjung usai, Aria. Aria, Aria, dalam remuk redam, dalam dingin selimut-selimutku, kutunggu selalu dirimu. Aria, o, Aria. Dalam selimut-selimut dan dingin malam, aku menggigil menyebut namamu.


The rain was so cold
makes me shiver
chilled

in my lonely blanket
I'm delirious
because dream of you



Zonca

08 April, 2009

Kalian dan Saya: Saya Pilih Diri Saya Sendiri

TIBA-TIBA saja kalian datang, bergerombol, membawa banyak senyum dan wajah gembira. Wajah tanpa dosa dengan hiasan ramah-tamah.


Tiba-tiba kalian mengaku saudara, mengaku kerabat, mengaku sependeritaan, mengaku satu mimpi, lalu satu tujuan bersama dengan saya. Wah, padahal saya tidak kenal sama kalian. Kalian saja yang tiba-tiba nongol dan menawarkan diri. Sok kenal dan sok baik. Padahal sebelumnya, mana pernah kalian ada untuk saya. Kalian ini, ada-ada saja. Tidak punya malu ya?
Kalian ajak saya bergembira. Kita rayakan demokrasi, begitu katamu. Mari memilih untuk untuk tujuan bersama! Bah, tujuan bersama apa? Yang jelas kalau bicara! Tujauan apa? Bisa kalian jelaskan dengan detail tujuan itu? Kemakmuran maksudmu? kemakmuran itu kue kering manis ya? Atau buah-buahan?


Waaah, orang tua saya sudah capai cari uang untuk sekolah saya. Mana pernah kalian bantu, sekolahku makin mahal, perlu banyak biaya untuk beli buku pelajaran adik-adik saya. Ibu mengeluh, harga beras naik melulu, bapak merengut, kalau mau kerja, motor harus disi bensin dengan harga mahal. Seringkali bapak mendesah; negara penghasil minyak kok minyak mahal, minyak naik bukannya sukur dapat subsidi malah ikut bayar mahal. Ada-ada saja ya kalian ini.


Nenek sudah tua, tidak berani ke rumah sakit, mahal ongkosnya, beli obat bisa bikin saya sekeluarga puasa delapan belas kali bulan purnama.


Sekarang kalian datang. Masih dengan tiba-tiba. Datang bawakan kami mimpi. Bilang kalau kalian saya pilih, kalian bakalan bikin hati saya bahagia. Oh ya? Dulu bapak saya juga katanya kalian janjikan begitu. Nenek saya, tetangga-tetangga saya, paman, sepupuku, kakak dari bibinya saudara sepupu anak tiri saudara paling tua bapak saya (bingung, kan?). Buktinya kemarin saja si Imin kena PHK, Pak Anto sakit demam berdarah tidak bisa bayar di rumah sakit. Lah bagaimana dong? Coba, coba bikin saya percaya. Biar saya yakin coret muka kamu di TPS besok pagi.


Kalian ini memang suka melucu ya, melucu dan tidak tahu malu. Pasang poster sana-sini pakai gaya yang paling narsis, buang-buang duit cuma buat minta dipilih. Saya saja tidak pernah mengemis, kalian mengemis. Kalian sms saya, kirimkan lewat email, kirimkan juga kalender ke rumah saya, stiker, uuuh! Kalian tempel sembarangan di pagar rumah. Benar-benar tidak sopan! Motor lagi parkir kalian tempelkan stiker norak beraneka warna, kurang kerjaan sekali ya!!!


Kalau mau dipilih, ya minta saja bapak kalian, anak kalian, istri-istri kalian, temen-temen kalian. Bukankah kita tidak pernah saling kenal? Bukan saudara, bukan tetangga, kalian enak-enak saja senyam- senyum sambil minta dipilih. Paling-paling kalau sudah saya pilih, kalian lupa. Baru ingat lima tahun lagi, kalau di kampung saya banyak yang milih kalian.


Coba, coba beri saya bukti. Murahkan sekolah saya, bensin motor saya, beras ibu saya, rokok bapak saya, obat nenek saya, buku adek saya. Bisa? Bisa kalian murahkan semuanya? Jangan PHK teman saya, jangan pecat sepupu saya. Obati tetangga saya, kasih susu adik-adik saya. Bukankah kalian telah menawarkan sebuah negara imajiner pada saya? Sebuah mimpi utopis buat saya dan keluarga?


Ayo, ayo jelaskan, lalu buktikan. Biar saya mantap besok pagi pegang pena coret muka kalian! Kalau tidak bisa, ya sudah. Besok pagi saya tidak mau milih kamu. Saya pilih diri saya sendiri.




Kos-kosan, 8 April 2009
Irwan Bajang

06 April, 2009

Tak Kau Tahu

Kau tidak pernah tahu. Aku belum bisa mengatakannya sekarang; di awal surat ini. tapi akan aku katakan di ujung tulisan ini. (Eits, kamu tidak boleh melihatnya. Baca saja urut seperti aku menulisnya. Oke? Mari kita lanjutkan!)

Ini surat cintaku yang pertama. Pertama menulis, pertama pula untukmu.

Kita pernah saling mengenal. Kau tahu itu.

Persinggungan panas dan air laut, adalah asal muasal uap menjadi hujan. Hujan yang deras berawal dari air yang terlalu banyak menanjak, menjadi awan yang berat. Awan tak kuat menahan uap air, maka jatuhlah hujan. Itu yang terjadi pada kita. Pertemuan kita menjadi awal untuk perpisahan yang mungkin akan lama. Perpisahan awan dengan uap yang dikandungnya.

Aku ingat saat kita berkenalan. Pandanganmu aneh. Aku mengenal jenis pandangan itu. Kau tidak pernah bisa menipu mataku. Aku terlalu paham bahasa mata. Apa lagi mata yang ganjil seperti matamu. Dan kau membuktikannnya sehari setelah jabat tangan yang kau anggap berkesan itu. Kau mengagumiku, katamu. Aku melambung, hanya sejenak tapi. Aku tak pernah mau menikmatinya. Aku tak bisa menikmati rasa melambung yang kau ciptakan.

Dari situlah, cerita berat harus aku jalani. Menjadi kekasihmu adalah hal yang berat bagiku.

Barangkali kau menganggap aku… akh, berat sekali aku mengungkapanya. Baiklah. Kau harus tahu sifatku; aku lelaki kacangan, terlalu mudah jatuh cinta, aku terlalu lemah untuk bertindak. Kalau aku tak salah rasa, aku yakin kau sangat mencintaiku. Benar, kan? Lagi-lagi kau tidak bisa berbohong dengan tatapan matamu, ditambah senyummu. Akuilah kau sangat mencintaiku.

Lalu kita berpacaran. Sebuah hubungan aneh yang tiba-tiba. Kau mengucapkan terimakasih karena telah aku pilih, dank au mengucapkan cinta juga.

Tapi jangan marah kalau aku sebenarnya berat untuk menjalaninya. Ini kesalahanku karena tak tegas dahulu; sesungguhnya aku tidak pernah mencintaimu. (tolong, tolong jangan salahkan aku. Bukannya aku tak tahu diri, aku memang tidak bersalah. Begitu juga kamu. Keadaan saja yang membuat semuanya seprti ini. biarlah… waktu akan menjawabnya)

Kau tentu tidak pernah tahu. Biarlah aku katakan sekarang. Yang mengucapkan cinta padamu dulu bukan aku. Tapi temanku. Maafkan aku.

NB:

Malam ini aku berangkat menuju laut. Tolong, jangan cari aku. Jangan rindukan aku. Aku tak pernah mencintaimu.

Yogyakarta, 2008.

10 November, 2008

Omelan Seorang Korban Bom Bali

Akhirnya ia mati juga, di tembak regu eksekusi! Mampuslah kau di neraka wahai Amrozi dkk.

Aku tidak akan memaafkanmu,tidak akan pernah. Meskipun kau telah mati, dan dengan tidak memaafkanmu, aku tahu kau tidak akan pernah tenang di kuburmu. Bukankah kau lebih tahu, kalau Tuhan tidak pernah akan memberimu surga, jika dosamu pada manusia belum kamu tebus? Dan sekali lagi, aku tidak akan pernah memaafkanmu.

Kalau diizinkan menghukummu, aku tidak akan pernah memberimu hukuman mati. Itu terlalu ringan bagimu. Kalau boleh aku ingin menyiksamu, mengiris wajahmu, mencambukmu, lalu memotong tangan dan kakimu. Agar kau merasakan hal yang setimpal denganku; hidup tersiksa selamanya tanpa tahu kapan penderitaan berakhir, dan berniat mengakhiri hidupmu.

Kau tidak pernah menderita semenderita aku.
Apa salahku? Dan kenapa kau mencelakaiku. Jihad? Tai kucing dengan jihadmu!

Waktu itu aku sedang liburan ke Bali. Hari yang sial dan terkutuk. Kami baru tiba di pulau itu, dan semuanya terjadi begitu cepat. Kami tidak pernah bermimpi. Setelah menabung sekian bulan uang jerih payah dan banting tulangku serta suami, kuajaklah keluargaku berlibur ke pulau yang kau benci itu. Belum sempat kami menikmati sun set di Kuta, atau indahnya Tanah Lot, dan kalian telah merenggut semuanya. Bajingan kau Amrozi! Tuhanku mengutukmu.


Tiga anakku mati seketika, aku beserta suami cacat permanen dengan jihad brengsekmu itu! Sementara kau? Hanya di penjara dan dengan tenang meregang nyawa, hanya sepuluh menit mengerang setelah ditembak. Dan dalam keyakinanmu, arwahmu dibawa burung-burung terbang menuju nirwana. Surga yang kau idam-idamkan dengan membunuh keluargaku. Mengahancurkan masa depan ratusan orang. Membuat sedih ratusan keluarga dan menghancurkan penghasilan ratusan orang.

Itu yang kau sebut Jihad? Berteriak Allahuakbar, sambil meluluhlantahkan pekerjaan orang?
Berteriak Lailahailallah sambil meremukkan kepala anak-anakku? Mengancurkan lengan kiri suamiku, membuatku hidup tanpa punya harapan sedikit pun. Itu yang kau sebut Jihad, Bajiangan?!

Kau mati dan dianggap mujahidin oleh golonganmu! Tai kucing itu semua. Aku menganggapmu pahlawan biadab. Karena wajahku yang dulu bisa tersenyum untuk suamiku, kini telah rusak parah gara-gara jihad bodohmu itu. Gara-gara keyakinanmu yang sungguh begitu egois.

Aku juga muslim, sama sepertimu. Mengucap kalimat syahadat, solat lima waktu, percaya pada malaikat dan kitab-kitab langit. Aku naik haji dan memberi makan kaum miskin, berpuasa dan bersyukur kepada Tuhan, sama seperti kau. Lalu, apa salahku? Apa salah suami dan ankku? Saat kau dengan nistanya berteriak Tuhan Maha Besar sambil meledakkan kepala putriku. Membiarkan darah dan otaknya berhaburan kewajaku yang langsung disambut api setelah terpelanting jatuh ke aspal. Kau tidak merasakannya!!!

Tuhanku (Tuhan yang mungkin juga kau akui) pernah bilang, “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Lalu apa urusanmu dengan orang yang ingin kau bunuh itu? Apa rumahmu sudah bersih? Apa keluargamu sudah taat semua, dan apa kau jauh lebih baik dari mereka yang kau binasakan? Adakah kau tahu itu? Bahwa mereka lebih berdosa dari kamu? Atau kamu merasa dirimu Tuhan?

Kau menjadikan dirimu lebih sombong dari Tuhan. Lebih egois dari ajaran fundamental yang kau yakini. Surga yang kau bayangkan tidak akan pernah kau dapatkan. Aku tetap berdoa pada Tuhan untuk mengekalkanmu di neraka jahannam! Amin.

30 September, 2007

kisah perempuan

Yogyakarta tidak begitu cerah pagi ini, cuacanya sedikit mendung dan langit tampak ditutupi awan abu-abu di beberapa bagiannya. Aku baru saja sampai ke kota ini lagi, setelah dua tahun lebih aku meninggalkannya. Dulu aku sempat bergelut lama dengan kota ini, hampir lima tahun memakan bangku kuliah di kampus di kota pelajar yang ramah ini. Bus yang aku tumpangi sepertinya tahu betapa rindunya aku dengan kota tujuan ini, kerinduan yang dalam pada suasana, pada budaya, pada malam-malam yang sering aku lewati dan pada perempuannya.
“Halo sayang, kamu dimana sekarang? Aku baru saja sampai di Janti. Jadi kan jemput aku?”
“O o, ya udah kamu tunggu dulu ya di situ, lima menit lagi aku sampai.”
“Oke, hati-hati ya.”
“Oke Bli-ku sayang.”
Aku merapat ke arah kantor agen bus yang aku tumpangi tadi dan duduk di kursi di bawah atap depan kantor. Aku semakin penasaran, bagaimana perempuanku yang telah lama aku tinggalkan. Aku tahu ia begitu menyayangiku. Ia benar-benar perempuan yang bijaksana, selalu mendukung segala langkah hidupku, selain ibu dan saudara-saudaraku ia salah satunya yang membuat hidupku begitu berwarna dan bercorak kebahagian seperti saat ini. Rindu yang terkumpul dua puluh empat bulan lebih akan segera tertumpah sebentar lagi, aku semakin rindu pada keriangannya dan aku semakin ingin segera ia ada di depanku. Aku ingin lagi menikmati wajahnya yang indah dan khas. Ya, khas perempuan Yogya.
“Hey..melamun aja!” Ia mengagetkan aku dengan dorongan tanganya yang khas. Sedikit kasar tapi penuh dengan perasaan yang tidak bisa ia pungkiri. Aku tersenyum dan dengan tanpa sadar tanganku segera membelai rambunya. Tidak ada yang berubah darinya, rambutnya masih diikat di belakang dengan sembarangan, sedikit berantakan. Masih ada setitik tahi lalat di bagian atas hidungnya, tanda lahir bawaannya yang selalu aku ingat dari hawa satu ini. “Ayo ikut aku…di jemput malah ngelamun! Buruan, ibu sudah nunggu tuh di rumah, dia kangen kamu katanya.”
“Ibu apa kamu yang kangen? Hehe…kamu kan?”
“Enak aja, pulang lagi sana. Amit-amit dah kangen sama kamu.”
“Bener? Aku pulang lo!”
“Hehe, pulang ke hatiku maksudnya,” ia tersenyum sedikit manja.
“Haha… dasar! Uh…” aku mendorong kepalanya pelan. Tak lama kemudian kami sudah di atas motornya dan sebentar lagi akan segera sampai rumahnya yang tidak jauh dari tempat pemberhentian bus tadi.
*************
“Ngurah, kapan datang? Mbah lama ndak lihat kamu, kamu pulang sudah dua tahun ndak ada kabar sama sekali.”
“Iya Mbah, maaf, saya baru sampai kemarin pagi, tadi malem nginep di rumahnya Rindu. Kangen sama Mbah, kangen sama rumahya dan masakannya”
“Kalo begitu nanti biar Mbah masak makanan kesukaanmu, kamu nginep di sini kan?”
“Saya sewa hotel saja Mbah, gak enak ngerepotim Mbah”
“Walah-walah, gaya ya sekarang, mentang mentang sudah jadi pengusaha sukses nginepnya di hotel, ndak mau sama si Mbah lagi. Kapan sih kamu ngerepotin Mas? Udah disini wae nginepnya, nanti sewa hotelnya ditabung buat nikahin Mbak Rindu ”
“Ha..ha, Mbah ini bisa aja, ya udah saya nginep disini aja selama di Yogya ya Mbah”
“Ya…Mbah kan juga ndak ada temen”
“La Mbah Lanang mana?”
“Kan udah meninggal, setahun yang lalu. Mbah mau kabarin kamu tapi ndak tahu pakai apa, pakai surat Mbah kan ndak tahu alamatmu apalagi pake telpon, kamu ndak ninggal nomer disini.” Suaranya masih tegas seperti dulu, tapi aku mendengar sepintas suaranya mengandung kesedihan yang dalam. Kesedihan dan kesepian yang begitu dalam.
“O.. maaf ya Mbah…” aku jadi kikuk sendiri. Antara rasa bersalah karena tidah pernah memberinya khabar dan pertanyaanku yang membuat ia sedih. Aku melihat raut wajahnya semakin menua, entah berapa umurnya sekarang. Ketika pertama kali aku datang dan menyewa kamar untuk kost dirumahnya tujuh tahun yang lalu ia mengaku sudah berusia sekitar enam puluh tahun lebih.
Malam itu kami makan berdua, ia bercerita panjang lebar tentang kejadian-kejadian selama aku pulang ke Bali. Tentang anak-anaknya yang menghilang dan tak pernah menjenguknya lagi. Tentang gempa di Yogyakarta, tentang kotanya yang semakin ramai dan semakin banyak mall-mall dan tentang prilaku tetangga setelah suaminya meninggal yang katanya tidak wajar.
************
Pagi ini aku ke rumah pacarku lagi, tadi malam ia menelponku ia bilang ibunya ingin berbicara serius kepadaku hari ini. Aku minta taksi menjemputku di depan gang rumah nenek tempat aku menginap semalam. Sepanjang jalan aku sibuk memperhatikan perubahan wajah kota pelajar yang semakin cepat berubah itu. Jalan-jalan semakin ramai dilalui kendaraan yang hilir-mudik. Para gembel dan pengamen tampaknya semakin banyak di tiap perempatan. Demikian pula hanya dengan komunitas anak punk dengan dandanan yang makin necis semakin banyak mengisi jalanan kota ini. Potret kota budaya dan kota pelajar yang semakin hari semakin berubah. Sekitar dua puluh menit lamanya aku sampai di halaman rumah Rindu yang teduh.
Obrolan kami terasa begitu hangat. Rindu terlihat begitu manja, anak ini seperti begitu butuh kasih sayang seorang lelaki Karena menurut ceritanya, ayahnya meninggal saat ia masih dalam kandungan. Aku menjadi merasa sangat bertanggung jawab padanya. Aku tidak mau ia tersakiti oleh tingkah lakuku. Meskipun ia bukan perempuan yang cengeng dan manja, bahkan cenderung tomboy, tapi aku yakin jiwa anak ini tetaplah tidak jauh berbeda dengan perempuan lain pada umumnya.
“Bagaimana Nak Ngurah, kapan ngelamar Rindu? Kalian kan sudah lama pacaran, dan ibu lihat kalian sudah dewasa dan siap menempuh hidup berumah tangga”
“Akh Ibu ini, nanti juga pasti itu. Jangan gitu dong Bu” Rindu menimpali sedikit manja, sambil mencubit ibunya. Tapi aku tahu ia pun sangat mengharapkan aku segera melamarnya. Kami sudah menjalin hubungan lima tahun lebih. Waktu yang tidak sebentar untuk dapat saling mengenal. Mendengar hal itu seolah ada jarum-jarum kecil yang begitu banyak menyerang ke arah kepalaku. Ada banyak hal yang susah aku ceritakan pada mereka. Aku takut kedua perempuan itu akan sakit hati dan tiba-tiba berpandangan buruk padaku. Aku begitu takut menceritakan hal tersebut. Disamping perbedaan agama yang kadang begitu mengahambat bagiku. Kadang aku sering bertanya, kenapa agama dan undang-undang melarang menikah dengan orang yang berbeda agama, padahal semua agama meyakini bahwa cinta itu diciptakan oleh Tuhan juga.
Aku berusaha tidak menampakkan sikap yang aneh agar mereka tidak curiga. Aku coba tersenyaum dan menyembunyikan pikiranku yang kacau.
“Iya Bu, saya pasti lamar Rindu. Tapi kan nggak sekarang Bu, tunggu dulu saya omongkan dengan orang tua di rumah”
“Bukannya orang tua di rumah sudah tahu dan setuju. Dulu kan Rindu pernah ikut pulang ke rumah Nak Ngurah”
“Ya Bu…nanti pulang ini saya persiapkan segalanya baru saya kesini lagi” aku berusaha melegakan hati mereka. Rindu tampaknya begitu gembira. Ia menatap dalam ke mataku. Tatapan yang begitu terasa menusuk sampai dalam otakku. Tatapan yang menakutkan bagiku. Aku merinding sendiri. Ada ketakutan yang begitu dalam yang mengganggu pikiranku. Aku tidak berani…..
Sungguh aku takut….
Ini karena kesalahanku yang bodoh!!
***********

Aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak. Pagi ini tampaknya tidak begitu cerah, langit Yogyakarta sedikit berawan dan tampaknya akan hujan. Kulangkahkan kaki ke arah pinggir teras atas depan kamar tidur yang aku tumpangi. Masih sepi rupanya, si Mbah belum bangun. Mungkin dia kelelahan, aku semalam melihat ia begitu murung sambil menonton tv di kamar tengah. Kasian sekali dia, anak-anaknya telah jarang dan bahkan tidak pernah lagi menjenguknya. Ia sendiri di usianya yang beranjak tua dan butuh perhatian. Sementara lingkungan begitu mengucilkannya gara-gara kematian suaminya yang aneh. Orang-orang beranggapan suaminya meninggal akibat ilmu pesugihan yang ia jalani. Padahal setahuku suaminya adalah orang yang taat beribadah. Bahkan ia dulunya adalah pemuka masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
Menurut ceritan perempuan tua ini, suaminya meninggal akibat keracunan makanan, entah makan apa. Dokter pun telah membenarkan bahwa suaminya meninggal akibat keracunan makanan, namun warga seolah tutup telinga dengan penjelasan itu. Yah…mungkin ini akibat konsumsi tayangan televisi yang begitu kuatnya berlomba menayangkan tayangan yang mengkonstruksi pikiran masyarakat. Entahlah, aku juga tidak begitu mengerti, mungkin tayangan mistis-mistis sedang trend dan menyerap banyak sponsor sehingga stasiun tv berlomba-lomba untuk menyajikan hal tersebut.
Aku menuruni tangga untuk menuju kamar mandi dan bergegas akan ke rumah Rindu lagi. Katanya pagi ini ia akan mengajak aku keliling kota. Singgah di tempat-tempat yang sering kami kunjungi dulu. Makan di tempat makan kesukaan kami sambil mengenang kisah-kisah yang pernah kita lalui dulu waktu aku masih kuliah di Jogja.
Aku penasaran, kenapa sampai jam segini si Mbah belum juga bangun. Arloji di tangan kiriku menunjuk pukul sembilan pagi. Perutku sudah lapar dan ingin sarapan pagi. Dari tadi rindu juga katanya telah siap menungguku. Aku jadi memberanikan diri untuk mengetok pintu kamar nenek tua ini.
“Mbah…bangun Mbah, sudah siang,” belum ada tanggapan. Aku ketuk lebih kencang lagi. “Mbah, sudah siang! Bangun Mbah!” aku ketuk berulang-ulang tetap tidak ada respon. Masa dia tidur senyenyak itu, setahuku ia subuh biasanya bangun dan memulai aktivitasnya. Aku jadi berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan ia sakit, atau pingsan. Atau….akh…aku terlalu banyak berhayal. Akhirnya aku coba buka pintunya. Ternyata tidak terkunci, dan ….
Ya Tuhan. Sungguh aku terperanjat bukan main. Darah mengalir dengan segar dari luka pergelangan tangan kirinya, dan sebilah pisau cutter jatuh di lantai belumuran darah pula. Ada apa gerangan. Kenapa nenek ini mengakhiri hidup dengan cara seperti ini. Aku jadi merinding sendiri. Aku bingung dan tidak tahu harus bertindak apa.
Ada sepucuk surat tergeletak di sebelah bantal yang ia tiduri.
“Semua harta warisku aku berikan kepada I Gusti Ngurah Eka Sastrawan” sungguh kaget aku melihatnya. Padahal pisau itu tadi malam aku pinjam untuk mengupas mangga yang ia berikan. Pastinya sidik jariku masih menempel disitu. Akh…ada apa ini. Ada apa dengan kota yang aku datangi ini? Kontan aku berteriak minta tolong dan dalam waktu yang cepat warga sudah menumpuk di sekitarku. Rindu pun datang setelah aku telpon. Dari jauh aku dengar suara sirine mobil polisi terdengar kain mendekat. Aku diam sendiri. Aku masih belum tahu skenario apa yang ditulis Tuhan buatku. Duh Gusti Gusti ada apa ini? Hatiku menjerit sendiri di tengah kerumunan itu. Aku seperti terpisah sendiri dalam kebingungan pribadiku di tengah kerumunan orang-orang yang bertanya-tanaya.
Getar handphone di saku celanaku terasa begitu keras. Ada telpon rupanya. Sedikit mengagetkan dan membuyarkan lamunan kebingunganku.. Aku menyibak barisan kerumunan warga dan menuju pojok ruangan untuk menerima telepon.
“Halo Ma”
“Pa, halo…cepat pulang ke rumah sekarang juga Pa” Suara wanita di telingaku begitu gugup.
“Tenang Ma…ada apa?” aku semakin gelisah ada apa lagi di rumahku.
“Papa segera pulang, anak perempuan kita masuk rumah sakit. Sekarang di ruang ICU Pa,” suara istriku sambil menagis.
Tanganku gemetar. Handphoneku jatuh ke tanah, badanku lunglai rasanya. Ada apa lagi ini, ada apa dengan perempuan-perempuankuku. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Aku harus segera pulang untuk perempuan-perempuanku di rumah. Sementar tiga perempuan disni telah membuat aku bingung. Bingung dan bingung sekali.
Dari arah kerumunan berjalan ke arahku tiga orang berseragam polisi lengkap ke arahku. Keringat dingin mulai mengucur keluar dari pori-pori tubuhku. Badanku serasa dingin dan lututku bergetar. Apa yang mesti aku katakan pada Rindu dan ibunya?. Lalu bagaimana dengan istri dan anakku? Akh..perempuan perempuan, kalian inginkan apa dariku….