30 January, 2010

MENUJU LAUT


Sesaat sebelum aku memutuskan untuk meninggalkanmu, aku menulis surat ini semoga kelak bisa kau baca sendiri.

Hey! Aku telah berkemas untuk berangkat menuju laut. Jadi, setelah berpamitan denganmu, aku langsung menuju laut. Maka ketika kau baca surat ini, anggaplah aku sekarang telah berada di laut, selamat sampai tujuan, merantau sendiri menjauhi segala keriuhan, dan bergabung dengan mereka yang mengasingkan diri di sini. Saat kau baca surat ini, mungkin aku sedang menyelidiki, adakah manusia di bawah laut. Adakah mereka juga seperti aku, penat di atas dan mencebur berenang menuju laut.

Kutulis surat ini hanya untukmu, aku tak pernah punya teman untuk bercerita, makanya aku teringat kebiasaan unik kita sejak dahulu, menulis untuk saling berbagi cerita.

Tahukah kau, konon di sini tidak pernah ada panas dan hujan. Sehari-hari tidak ada cuaca dan konon tidak pernah ada iklim. Setiap hari di sini teduh dan damai. Meskipun di sini juga ramai seperti di atas dunia sana, tempat dulu kita saling beradu senyum dan meneriakkan tawa.

Bayangkan saja aku kini bersirip, mempunyai insang dan bisa bernapas sambil berenang di laut. Asyikkan? Tentu saja. Banyak terumbu karang, ikan-ikan manis nan cantik dan beraneka ragam. Mereka berkelompok dan tak pernah sendirian, makan bersama, berebut berkejaran. Mereka akan pulang jika sudah kenyang dan waktunya bersembunyi, menyelip di celah-celah karang. Tentu saja mereka tidak terluka, sebab tubuh mereka begitu lihai memasuki celah sempit karang-karang itu. Bayangkanlah, aku ikut bersama grombolan itu.

Sayang, jika aku selamat dalam perjalan, aku telah berada di bawah laut sekarang. Baiklah, jangan pernah sesali, sayang. Karena aku juga tak pernah menyesal untuk menjauh darimu. Salam manis selalu dariku.


Jogjakarta, Juli 2009-Januari 2010
Gambar diambil dari sini

27 January, 2010

CUEK

 



“Mari kita tandatangani persetujuan ini.”
“Persetujuan apaan?”
“Pengurangan gas emisi karbon.”
“Untuk apa?”
“Ya, untuk mengurangi polusi, lah!”
“Polusi?”
“Jangan pura-pura tidak tahu, kau merasakannya sendiri, kan?”
“Lalu, apa hubungannya dengan tanda tangan?”
“Karena kita telah berbuat bayak kerusakan!”
“Kerusakan apaan maksudmu? Jangan hiperbolis dan mengada-ngadalah!”
“Ya itu! Kamu banyak memberi polusi ke udara kita bersama.”
“Lah, itu kan buat memakmurkan rakyatku!”
“Tapi rakyat negara lain semakin tidak makmur, alias terkena imbas pembangunan industrimu yang berlebihan! Udara jadi makin panas, hutan gundul dan wabah penyakit semakin banyak. Kutub semakin sempit dan keseimbangan dunia terancam!”
“Bodo amat, aku hanya mau makmur!”
“Kami juga mau makmur!”
“Ya sudah, ngapain saling urus? Kita punya jalan masing-masing, kan?”
“ Karena kau bagian dari kami, bego!”
“Sejak kapan? “
“…”
“Kapan?”
“Ya, sejak kita muncul dengan identitas masing-masing di bumi ini! Karena kita hidup berdampingan!”
Akh, persetan!”
“Huh, dasar negara sok besar, maunya menang sendiri.”
“Dasar negara miskin, sok mengurus segala hal dan cemburu!”
***

Lalu si negara-negara industri besar walk out dari kongres, dan polusi semakin merajalela akibat tingkahnya; cerobong asap yang tak berhenti mengepul.
Oh, betapa kau tak pernah tahu panas malam ini, karena kau asik menyalakan ac di kamar tidurmu. Betapa kau tak pernah tahu hutan kami gundul, karena kau sibuk cebok dengan tissue dari pohon hutan kami yang kalian tebang ilegal.  Betapa kau tidak pernah mengerti , betapa kau egois dan betapa menderitanya kami gara-gara kamu.
Lalu negara-negara besar lainnya cuek dan kita bersama-sama menyongsong neraka akibat matahari yang semakin tak terhalang menuju rumah-ruamah kita. Dan kelak, anak cucu kita akan memaki, karena kita tak mewariskan apa-apa pada mereka selain kekeringan dan panas yang tak kunjung reda.
“Hmmmm…!”


Yogyakarta, 8 Februari 2008

18 January, 2010

SAYA PUNYA EKOR

Sejak sekolah SD, SMP,SMA bahkan hingga saat ini, saya selalu heran, kenapa celana saya selalu bolong di bagian pantat. Selalu saja celana saya bolong seperti itu. Awalnya menipis dengan sendirinya, lalu mulai bolong sedikit demi sedikit, hingga akhirnya berlubang, sampai-samapai celana dalam saya bisa terlihat warnanya dengan jelas. Saya sendiri heran, kenapa bisa demikian. Heran. Saya kerap bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa ya?

Tidak ada celana yang awet saya pakai, bahkan jeans tebal sekalipun. Dalam setahun sekolah, saya bisa membolongkan 4 celana seragam sejenis. Itu artinya, celana saya bolong setiap 3 bulan sekali. Angka ini berlaku untuk semua celana seragam. Kalau seragam saya ada 3 macam, berarti setahun saya membolongkan 4x3 celana, 12 celana seragam. Astaga. Coba bayangkan, berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mengganti 12 celana saya yang bolong, di awal tahun ajaran baru. 12 celana dikalikan harga tiap celana. Padahal Itu belum termasuk jumlah celana non seragam lainnya, seperti celana jeans, celana pendek dan celana-celana sehari-hari. Akibatnya, banyak celana bolong saya yang tak terpakai, meskipun warnanya belum lusuh dan pudar. Untuk jeans, beberapa sudut kena tambal dan masih bisa pakai, meskipun tidak butuh waktu banyak untuk saya bolongkan lagi.

Ibu saya sejak dulu menuduh pantat saya tajam kaya pisau, atau kasar kayak amplas. Saya kerap kali protes dan tidak terima, sebab ketika saya priksa, pantat saya normal dan tak ada kejanggalan apapun. Normal-normal aja tuh.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Saya sering bertanya ke teman saya, berapa celana yang ia lubangi tiap tahun, atau berapa lama sebuah celana ia bolongkan. Tentu saja jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah celana bolong saya, atau rentang waktu yang dibutuhkan, jauh lebih panjang dibandingkan waktu yang saya butuhkan untuk membuat celana bolong.

Saya curiga sama diri saya sendiri. Bahkan dalam diam, saya seringkali iseng berpikir, kalau saya ini memiliki pantat yang aneh. Hahaha. Apakah saya sebenarnya punya ekor? Saya belum tahu, kita lihat saja nanti, kalau terbukti, segera akan saya konfirmasi.


Gambar diambil dari sini