Showing posts with label Omelan. Show all posts
Showing posts with label Omelan. Show all posts

16 October, 2010

Obat Rindu

ke mana aja kok gak pernah Nampak?
kapan nulis lagi, saya rindu tulisanmu?
hey ayo nulis lagi!
Susah sekali saya menjawab antologi pertanyaan semacam itu. Bahkan, saya kadang takut untuk menjawab, sebab yang muncul kebanyakan adalah apologi, pembelaan dan sikap mencari aman. Padahal, sesungguhnya saya tidak tahu, kepada siap mencari aman, untuk apa berapologi dan kenapa juga harus melakukan pembelaan. Dan kali ini, saya juga tak akan menjawab pertanyaan tersebut di atas, sebab sungguh, samasekali saya susah menjawabnya.

29 March, 2010

Mata Uang Bernama Permen

Pernahkah kamu dapat kembalian permen ketika habis belanja di toko, supermarket atau tempat belanja lainnya? Saya rasa, Hampir semua dari kita tentu saja pernah merasakan hal itu. Bagaimana perasaan kamu? Keberatan, marah, bingung, sebel, kesal, dongkol, atu biasa aja? Sebagian mungkin menganggap ini adalah hal biasa. Apa artinya sih uang hanya seratus, dua ratus atau lima ratus perak, toh kalau dibelanjakanm juga tidak bisa buat beli apa-apa! Barangkali banyak yang berpikir begitu. Tapi, sadarkah kita, jika sebenarnya kembalian dengan permen itu bukan hanya sekadar melanggar tata niaga, bahwa uang secara definitif berarti alat pembayaran yang telah disepakati, tapi secara tidak langsung pemilik supermarket telah mengeruk banyak untung dari hal tersebut dan konsumen atau pembeli telah dirugikan secara sepihak?

Mari kita hitung secara matematis.
Misalkan satu pack permen dengan isi dua lusin (24 bungkus) permen harganya Rp. 3 500,- maka harga permen satuannya adalah RP, 145, 9,-.
Itu artinya, jika saja permen tersebut disepakati sebagai alat pembayaran, maka harga mata uang permen tersebut adalah senilai Rp. 145, 9,-.
Nah, apa jadinya kalau kembalian kita sebanyak Rp. 200, atau Rp. 500 dikembalikan dengan permen? Bukankah 145, 9 adalah bilangan ganjil berkoma yang tak akan habis jika membagi bilangan 100 dan kelipatannya? Tentu saja konsumen akan rugi. Apalagi banyak kasir sebuah toko atau tempat perbelanjaan lainnya membulatkan permen seharga sekian menjadi Rp. 200,- atau ada juga yang menghitung 3 permen = Rp. 500,- Maka akan kacu jadinya. Selisih harga kurs Rupiah dan kurs mata uang permen tercecer di mana-mana.

Kalau 1 bungkus permen sama dengan Rp. 200,- maka 24 permen tadi akan menjadi Rp. 4800. Artinya, ada selisih keuntungan 1300 bagi si pemberi kembalian (penjual, pemilih toko, yang diwakili oleh kasirnya). Tentu saja menurut saya ini tidak fair, sebab bagaimanapun, kita tidak sedang bertransaksi membeli permen, tapi kita sedang meminta kembalian. Kalau berjualan, memperoleh untung dari selisih harga jual dan beli, itu lain soal lagi, itu sah-sah saja.

Bayangkan kalau kejadian ini terus saja berlanjut. Dalam setahun, dengan sekian kali belanja dan dapat kembalian permen, sudah berapa rupiah kita sebagai konsumen rugi? dan sudah berapa rupiah transaksi tidak sah yang diambil oleh penjual pada pembeli dari selisih mata uang permen itu dengan mata uang rupiah yang kita ambil sehari-hari?

Fenomena ini adalah hal sepele, tapi jika dibiarkan begitu saja, menurut saya situasi perdagangan bisa saja rumit, aneh dan tidak fair. Ini bukan masalah pelit, teliti, tidak ihlas, atau apalah namanya, tapi bagi saya ini menyangkut masalah kesepakatan, etika dan kedisiplinan. Banyak supermarket, yang sebab malas mencari uang receh pecahan seratus, limaratus dan lain sebagainya menggunakan jalan pintas ini. Entah memang karena malas mencari receh, atau ada motif pengambilan untung di belakangnya. Yang jelas, konsumen selalu saja sebagai korban dan menanggung kerugian.

Bukankah banyak pembeli yang belum sepakat, bahkan keberatan dan merasa dirugikan dengan penggunaan permen sebagai kembalian? Lalu, apakah kita akan diam saja. Atau, apa yang akan kita lakukan? Hmmmm. Saya mungkin akan memulai menolak mata uang permen ketika nanti hal itu terjadi (lagi) kepada saya saat membayar di kasir.
:D

21 March, 2010

Obama Anak Menteng? So What Gitu Loh!

Obama anak Menteng dan pernah sekolah di SD Menteng Dalam (Besuki). Terus kenapa memangnya?!

Saya sebenarnya sudah lama sekali menghindarkan diri untuk menulis tulisan semacam ini: Tulisan tentang Obama, seorang presiden Amerika Serikat yang pernah sekolah dan tinggal di Indonesia. Namun, saya lama-kelamaan semakin jengah dengan sikap banyak orang yang terlalu berlebihan dan norak dalam menyikapi hal ini. Ada yang mebuat tugu untuknya, mendirikan tugu si Obama Kecil yang membawa burung merpati sebagai simbol perdamaian, ada lagi yang menulis novel tentang kisah hidup Obama kecil sewaktu di SD Menteng Dalam dan akan mempersembahkannya buat Obama saat datang nanti di Indonesia. Bahkan ada yang katanya telah menciptakan lagu untuk Obama, "Bocah kecil lucu, dulu ada di sini, Barack Obama", begitu kira-kira liriknya. Astaga, apa-apaan ini?

08 April, 2009

Kalian dan Saya: Saya Pilih Diri Saya Sendiri

TIBA-TIBA saja kalian datang, bergerombol, membawa banyak senyum dan wajah gembira. Wajah tanpa dosa dengan hiasan ramah-tamah.


Tiba-tiba kalian mengaku saudara, mengaku kerabat, mengaku sependeritaan, mengaku satu mimpi, lalu satu tujuan bersama dengan saya. Wah, padahal saya tidak kenal sama kalian. Kalian saja yang tiba-tiba nongol dan menawarkan diri. Sok kenal dan sok baik. Padahal sebelumnya, mana pernah kalian ada untuk saya. Kalian ini, ada-ada saja. Tidak punya malu ya?
Kalian ajak saya bergembira. Kita rayakan demokrasi, begitu katamu. Mari memilih untuk untuk tujuan bersama! Bah, tujuan bersama apa? Yang jelas kalau bicara! Tujauan apa? Bisa kalian jelaskan dengan detail tujuan itu? Kemakmuran maksudmu? kemakmuran itu kue kering manis ya? Atau buah-buahan?


Waaah, orang tua saya sudah capai cari uang untuk sekolah saya. Mana pernah kalian bantu, sekolahku makin mahal, perlu banyak biaya untuk beli buku pelajaran adik-adik saya. Ibu mengeluh, harga beras naik melulu, bapak merengut, kalau mau kerja, motor harus disi bensin dengan harga mahal. Seringkali bapak mendesah; negara penghasil minyak kok minyak mahal, minyak naik bukannya sukur dapat subsidi malah ikut bayar mahal. Ada-ada saja ya kalian ini.


Nenek sudah tua, tidak berani ke rumah sakit, mahal ongkosnya, beli obat bisa bikin saya sekeluarga puasa delapan belas kali bulan purnama.


Sekarang kalian datang. Masih dengan tiba-tiba. Datang bawakan kami mimpi. Bilang kalau kalian saya pilih, kalian bakalan bikin hati saya bahagia. Oh ya? Dulu bapak saya juga katanya kalian janjikan begitu. Nenek saya, tetangga-tetangga saya, paman, sepupuku, kakak dari bibinya saudara sepupu anak tiri saudara paling tua bapak saya (bingung, kan?). Buktinya kemarin saja si Imin kena PHK, Pak Anto sakit demam berdarah tidak bisa bayar di rumah sakit. Lah bagaimana dong? Coba, coba bikin saya percaya. Biar saya yakin coret muka kamu di TPS besok pagi.


Kalian ini memang suka melucu ya, melucu dan tidak tahu malu. Pasang poster sana-sini pakai gaya yang paling narsis, buang-buang duit cuma buat minta dipilih. Saya saja tidak pernah mengemis, kalian mengemis. Kalian sms saya, kirimkan lewat email, kirimkan juga kalender ke rumah saya, stiker, uuuh! Kalian tempel sembarangan di pagar rumah. Benar-benar tidak sopan! Motor lagi parkir kalian tempelkan stiker norak beraneka warna, kurang kerjaan sekali ya!!!


Kalau mau dipilih, ya minta saja bapak kalian, anak kalian, istri-istri kalian, temen-temen kalian. Bukankah kita tidak pernah saling kenal? Bukan saudara, bukan tetangga, kalian enak-enak saja senyam- senyum sambil minta dipilih. Paling-paling kalau sudah saya pilih, kalian lupa. Baru ingat lima tahun lagi, kalau di kampung saya banyak yang milih kalian.


Coba, coba beri saya bukti. Murahkan sekolah saya, bensin motor saya, beras ibu saya, rokok bapak saya, obat nenek saya, buku adek saya. Bisa? Bisa kalian murahkan semuanya? Jangan PHK teman saya, jangan pecat sepupu saya. Obati tetangga saya, kasih susu adik-adik saya. Bukankah kalian telah menawarkan sebuah negara imajiner pada saya? Sebuah mimpi utopis buat saya dan keluarga?


Ayo, ayo jelaskan, lalu buktikan. Biar saya mantap besok pagi pegang pena coret muka kalian! Kalau tidak bisa, ya sudah. Besok pagi saya tidak mau milih kamu. Saya pilih diri saya sendiri.




Kos-kosan, 8 April 2009
Irwan Bajang

10 November, 2008

Omelan Seorang Korban Bom Bali

Akhirnya ia mati juga, di tembak regu eksekusi! Mampuslah kau di neraka wahai Amrozi dkk.

Aku tidak akan memaafkanmu,tidak akan pernah. Meskipun kau telah mati, dan dengan tidak memaafkanmu, aku tahu kau tidak akan pernah tenang di kuburmu. Bukankah kau lebih tahu, kalau Tuhan tidak pernah akan memberimu surga, jika dosamu pada manusia belum kamu tebus? Dan sekali lagi, aku tidak akan pernah memaafkanmu.

Kalau diizinkan menghukummu, aku tidak akan pernah memberimu hukuman mati. Itu terlalu ringan bagimu. Kalau boleh aku ingin menyiksamu, mengiris wajahmu, mencambukmu, lalu memotong tangan dan kakimu. Agar kau merasakan hal yang setimpal denganku; hidup tersiksa selamanya tanpa tahu kapan penderitaan berakhir, dan berniat mengakhiri hidupmu.

Kau tidak pernah menderita semenderita aku.
Apa salahku? Dan kenapa kau mencelakaiku. Jihad? Tai kucing dengan jihadmu!

Waktu itu aku sedang liburan ke Bali. Hari yang sial dan terkutuk. Kami baru tiba di pulau itu, dan semuanya terjadi begitu cepat. Kami tidak pernah bermimpi. Setelah menabung sekian bulan uang jerih payah dan banting tulangku serta suami, kuajaklah keluargaku berlibur ke pulau yang kau benci itu. Belum sempat kami menikmati sun set di Kuta, atau indahnya Tanah Lot, dan kalian telah merenggut semuanya. Bajingan kau Amrozi! Tuhanku mengutukmu.


Tiga anakku mati seketika, aku beserta suami cacat permanen dengan jihad brengsekmu itu! Sementara kau? Hanya di penjara dan dengan tenang meregang nyawa, hanya sepuluh menit mengerang setelah ditembak. Dan dalam keyakinanmu, arwahmu dibawa burung-burung terbang menuju nirwana. Surga yang kau idam-idamkan dengan membunuh keluargaku. Mengahancurkan masa depan ratusan orang. Membuat sedih ratusan keluarga dan menghancurkan penghasilan ratusan orang.

Itu yang kau sebut Jihad? Berteriak Allahuakbar, sambil meluluhlantahkan pekerjaan orang?
Berteriak Lailahailallah sambil meremukkan kepala anak-anakku? Mengancurkan lengan kiri suamiku, membuatku hidup tanpa punya harapan sedikit pun. Itu yang kau sebut Jihad, Bajiangan?!

Kau mati dan dianggap mujahidin oleh golonganmu! Tai kucing itu semua. Aku menganggapmu pahlawan biadab. Karena wajahku yang dulu bisa tersenyum untuk suamiku, kini telah rusak parah gara-gara jihad bodohmu itu. Gara-gara keyakinanmu yang sungguh begitu egois.

Aku juga muslim, sama sepertimu. Mengucap kalimat syahadat, solat lima waktu, percaya pada malaikat dan kitab-kitab langit. Aku naik haji dan memberi makan kaum miskin, berpuasa dan bersyukur kepada Tuhan, sama seperti kau. Lalu, apa salahku? Apa salah suami dan ankku? Saat kau dengan nistanya berteriak Tuhan Maha Besar sambil meledakkan kepala putriku. Membiarkan darah dan otaknya berhaburan kewajaku yang langsung disambut api setelah terpelanting jatuh ke aspal. Kau tidak merasakannya!!!

Tuhanku (Tuhan yang mungkin juga kau akui) pernah bilang, “bagiku agamaku dan bagimu agamamu”. Lalu apa urusanmu dengan orang yang ingin kau bunuh itu? Apa rumahmu sudah bersih? Apa keluargamu sudah taat semua, dan apa kau jauh lebih baik dari mereka yang kau binasakan? Adakah kau tahu itu? Bahwa mereka lebih berdosa dari kamu? Atau kamu merasa dirimu Tuhan?

Kau menjadikan dirimu lebih sombong dari Tuhan. Lebih egois dari ajaran fundamental yang kau yakini. Surga yang kau bayangkan tidak akan pernah kau dapatkan. Aku tetap berdoa pada Tuhan untuk mengekalkanmu di neraka jahannam! Amin.