25 October, 2009

September itu Ganjil, Kawan!

September adalah bulan yang ganjil menurut saya, tentu saja ganjil di sini bukan dengan alasan bahwa September adalah bulan ke Sembilan, tapi saya merasa banyak yang aneh dari bulan ini.

Sejak kecil, saya masih ingat waktu itu masih kelas empat SD, ketika setiap malam 30 September, saya dan kawan-kawan sekolah saya waktu itu diminta untuk menonton sebuah film, lalu keesokan harinya kami harus membuat resensi dan menceritakannya di depan kelas. Film apa lagi kalau bukan film G30-S (dulu:G30-S-PKI). Sebuah film yang dibuka dengan pembacaan kesalahan-kesalahan PKI, pembantaiannya, pengeroyokan, pembakaran masjid, Al Quran, pemberontakan dan beragam kejahatan lainnya, lengkap dengan senjatanya berupa celurit.

Sebenarnya saya tidak banyak mengingat film ini, karena sebenarnya inti dari cerita yang akan kami sampaikan di depan kelas itu hanya dua poin. Yang pertama, tentu saja PKI jahat, tidak beragama, mereka menculik jendral-jendral, lalu istri-istri mereka (Gerwani) menari-nari sembari menyilet kemaluan para jendral yang diculik tersebut untuk dijadikan mainan. Maka semboyan yang paling membuat kami merinding dan menutup mata waktu itu adalah, "darah itu merah jendral!" (saya mau iseng dikit: emang ada darah ijo? hahaha.. hus, jangan terlalu serius ah!). Lalu poin kedua yang akan kami sampaikan di depan kelas adalah: Soeharto is the last Hero! ( Hahahaha... akulah pahlawan bertopeng. Bayangkan ekspresi Shincan!). Tak lebih dan tak kurang, hanya itu yang bisa ditangkap oleh imajinasi dan daya ingat anak kelas empat SD seusia saya waktu itu: PKI jahat, dan Soeharto adalah pahlawan penyelamat. Tentu saja, doktrin itu yang paling ingin disampaikan pada usia-usia belia kami waktu itu.

Bagaimana kami tidak merinding, film ini sungguh-sungguh penuh kekerasan, dan ketika menemui film ini lagi (saat ini, setelah saya kuliah, setelah Orba tumbang, setelah Soeharto mati) saya tahu, bahwa film ini memang secara sinematografi (setidaknya penilaian awam seorang penonton setia macam saya ini) saya bilang bagus. Seringkali efek ketegangan dimunculkan dengan kaki-kaki bersepatu yang berlarian dizoom in, bibir-bibir berkumis yang berbicara sembari mengembuskan asap rokok, juga ekspresi-ekspresi kesakitan yang hampir semuanya dizoom in. Efek ini saya rasakan begitu mengerikan, bahkan hingga saat ini, ketika saya sudah tak takut tidur sendiri, ketika saya sudah banyak nonton film-film hantu Indonesia dan malah tertawa dibuatnya. Bagaimana saya yang waktu itu sangat belia tidak takut? Darah-darah jendral berceceran, orang di masjid dibantai, Al Quran disobek dengan celurit, bahkan menonton saat ini pun, saya masih merinding, sungguh. Film ini menyajikan menu kekerasan yang masih melekat hingga usia saya lebih dari dua puluh tahun. Rupanya pembuat film ini tahu betul, bahwa rekam visual membero memori yang terang pada ingatan manusia yang menontonnya. Entah, dari mana mereka belajar teori film semacam itu.

Lambat laun, saya membaca banyak buku, saya bertemu banyak orang, saya berdiskusi dengan banyak kepala, dan tentu saja (saya yakin) pembaca sekalian tahu, bahwa tidak semua yang ada di film itu benar.

Saya tidak sedang ingin membahas G30-S-PKI. Saya hanya sedang ingin bercerita, bagaimana anak seusia saya waktu itu dibayang-bayangi ketakutan sehabis menontonnya: Tidur dalam pelukan ibu saya, terbawa mimpi darah-darah, membenci lambang palu dan arit, juga menjadikan simbol itu sebagai simbol setan yang saya takuti, lalu keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami sudah harus siapmenceritakan film horror itu di depan kelas.

Sudahlah, lain kali kita bicarakan lagi. kali ini saya hanya ingin menuliskan puisi buat seorang kawan saya. Saya bertemu dia di bali di Taman 65, sebuahkomunitas kultural yang terbangun di tengah lingkungan (kampung) dengan komposisi masyarakat korban dan pelaku pembantaian 65. Puisi ini saya tuliskan untuknya malam-malam 30 September 2009, ketika saya sedang di Lombok. Malamnya saya tulis puisi ini dan saya kirim via sms kepadanya. Kali ini saya ingin membaginya dengan kawan-kawan. Inilah puisi untuk kawan saya yang keluarganya ikut menjadi korban 65 itu. Selamat membaca.

september
kepada ngurah termana

malam-malam itu
suara sepatu-sepatu itu
bunyi peluru peluru itu
golok-golok berdarah itu
teriakan-teriakan itu
hianat-hianat itu
akhir bulan sembilan itu

september 2

katamu,
di sini api berkobar-kobar
dan tuding menuding
antara dibunuh atau terbunuh
golok-golok berkelebat
lalu kepala-kepala menggelinding
tanahku jadi semerah darah
katamu

Lombok Timur, 30 Septeber 2009


Puisi ini juga saya coba terjemahkan dalam bahasa inggris, mohon masukan dan koreksinya jika ada penggunaan bahasa yang salah. Maklumlah, saya kecilnya makan kangkung dan ubi rebus, bukan wortel dan kentang, apalagi burger (hehehehe), jadi kemampuan bahas inggris saya jauh di bawah lutut.

september
to Ngurah Termana

thats nights
the voice of that shoes
the sound of the bullets
bloody machetes
thats shouts
that serpentines
in the end of ninth month



September 2

you said that,
fire was blazing here
and every people was pointing
between murdered or killed
the machetes flashed
then heads get moving to the land
my land was so bloody
you said that,

East Lombok, 30 Septeber 2009
Gambar diculik dari sini



20 October, 2009

Belajar Terjemah

Saya memulai belajar menerjemah beberapa karya sastra setelah merasa nyaman membaca karya-karya sastra berbahasa inggris. Mungkin intensitas membaca berbahasa inggris saya memang tidaklah sebanyak membaca bahasa Indonesia, namun sejak lama saya sudah memulai menerjemahkan beberapa karya sastra, terutama puisi dan beberapa cerpen. Puisi yang sudah saya terjemah di antaranya milik Rummi, Neruda dan beberapa puisi indonesia klasik yang saya coba terjemahkan ke bahasa inggris. Kali ini saya ingin menerjemahkan karya-karya saya juga ke dalam bahasa inggris. Mudahan saja bisa berhasil. Tentu saja saya butuh banyak masukan dari kawan-kawan. Jangan ragu memaki dan mencaci kebodohan saya menterjemahkan ya. :D


Malam Pengantin


dinding-dinding kamar ini, sayang
yang menjadikan aku terkurung sepi
angin mendesau keras di luar sana
lalu dingin menyapa malam-malam kita
kita tidur telanjang berdua
sementara nyamuk-nyamuk mengintip iri ingin ikut bersenggama

2009
____________________________________________

wedding night


the walls of this room, my dear
that makes me shut by quiet
the wind was blowing hard out there
than cold greet to our nights
We sleep naked together
mosquitoes while peering enviously want to intercourse

2009
Gambar diculik dari sini


12 October, 2009

Saya akan bantu kamu menerbitkan bukumu

Saya ingin membantu semua orang untuk menulis dan menerbitkan bukunya

Sebenarnya ide ini sudah lama, bahkan sejak tahun 2006 saya sudah mulai menerbitkan buku indie bersama teman-teman. Namun, saat inilah semua ide dan impian itu saya wujudkan secara serius dan profesional. Di tengah ketidaksibukan saya menulis dan menyunting naskah, saya ingin sekali menyempatkan diri untuk membantu penulis-penulis pemula yang ingin menerbitkan bukunya.


Mulai September tahun ini (sembari puasa), saya mulai mengutak-atik komputer, membuat web yang pantas, mecari tema yang sesuai, menyusun kata-kata untuk diposting, menghubungi teman-teman yang sepemikiran, mengajak mereka berdiskusi, bekerjasama, merangkai mimpi dan mulai berkomitmen untuk proyek ini. Saya memulainya dengan berpindah kos, mencari tempat yang lebih refresentatif untuk bekerja, menjadikannya kantor dan memulai aktivitas sederhana ini dari sini. Hingga akhirnya saya putuskan untuk menjadikan proyek ini proyek serius yang mudahan bisa berlanjut dan terus berkembang. Bulan Oktober, saya mendirikan Indie Book Corner, sebuah lembaga yang saya dedikasikan dan saya niatkan untuk membantu penulis-penulis muda dan pemula untuk menerbitkan buku pertama, ataupun buku selanjutnya. Saya lega sekali, ketika lembaga ini resmi berdiri.


Banyak buku yang ditolak penerbit major label, padahal belum tentu buku itu jelek dan tidak layak baca. Kebanyakan masalahanya terletak pada tinjaun pasar dan perhitungan untung rugi. Indie Book Corner adalah sebuah proyek yang saya gawangi sendiri, saya ingin memulai dan membantu, itu saja. Saya berpikir, sudah saatnya, buku akan gampang diproduksi, meskipun dalam jumlah yang barangkali tak sebanyak produksi penerbit konvensional. Biarkan penulis mempublikasi bukunya dan pembaca menikmati apapun jenis buku tanpa harus kompromi dengan pasar.


Saat ini saya berdoa, semoga niatan baik saya ini bisa terus berlanjut. Saya tahu, secara financial saya tidaklah berlebihan, saya hanya anak kos yang masih belum tamat kuliah dan sibuk mencaci maki diri sendiri yang malas sekali menggarap skripsi. Tapi, apakah ada mustahil dari dunia ini selama kita berniat dan bekerja keras? Pertanyaan ini klise, tapi kali ini saya hanya ingin menjawab; tidak ada, tidak ada yang mustahil. Tekad saya sudah bulat, saya tidak mau mundur lagi! Meskipun dengan tabungan seadanya, saya akan bersedia membiayai setiap naskah yang masuk untuk segera dijadikan buku dan dihadirkan ke sidang pembaca. Saya berniat tulus, dan saya yakin semesta mendengarkan niat ini.


Buat kawan-kawan semua, inilah dedikasi yang ingin saya hadirkan. Silakan mampir dan lihat-lihat ke Indie Book Corner di www.indiebook.co.cc


Salam semangat dan sehat selalu

Irwan Bajang

06 October, 2009

Pak Polisi, Jangan Pukul Dong!

Hari itu, pagi pukul sepuluh, hari pertama bulan sepuluh, beberapa pemuda turun ke jalan menggunakan ikat kepala berwarna putih bertuliskan FRSM (Front Rakyat Sukamulia Menggugat). Mereka membentangkan spanduk bertuliskan "Rakyat Resah Kepala Desa Harus Mundur" dan membawa dua puluh poster dengan beraneka ragam tuntutan. Peristiwa ini terjadi di Aik Anyar, Desa Sukamulia. Sebuah kawasan yang sedang bermasalah dengan pemekaran desa di wilayah Kabupaten Lombok Timur. Segera saja, ratusan masyarakat tumpah ruah ke jalan, mebanjiri jalanan. Massa yang terkumpul hari itu diperkirakan lebih dari seribu orang, sebuah jumah yang cukup banyak untuk masa aksi di sebuah kampung kecil yang jauh dari pusat pemerintahan. Mereka sama sekali tak gentar berpidato lewat megaphone, meskipun telah puluhan barisan polisi menghadang mereka, lengkap dengan pakaian kebesaran mereka dan wajah sangar yang sama sekali tak mengumbar senyum sedikitpun. Tiga puluh menit kemudian. Suasana sudah berubah. Aku dan Sembilan orang lainnmya tertangkap.

****

Aku duduk diam sembari memaki dalam hati. Di depanku seorang kawan demonstrasiku terkapar tidak berdaya setelah dikeroyok barisan polisi berseragam. Persis seperti gaya preman mengeroyok tokoh utama dalam film-film yang kerap kita tonton di kotak ajaib bernama televisi itu. Bahkan, seorang polisi yang mengaku dirinya kepala unit Buser di Polres Lombok Timur sempat menantang kesepuluh di antara kami untuk berduel di Rambang (sebuah pangkalan TNI AU di dekat pantai di Lombok Timur).

"Kalian mau lapor siapa, hah? Lapor sama malaikat pun aku tidak takut" Begitu ucap laki-laki sialan itu dengan nada sombong. Kalau saja ia sendirian dan aku sendirian, ingin kusumpal mulutnya dengan sandal jepit yang telah putus talinya ini, lantaran diinjak sepatu-sepatu both saat kami digerebeg. Sialan, aku tak henti-hentinya memaki dalah hatiku. Aku belum pernah seumur hidup diperlakukan biadab seperti ini oleh polisi.

Pasalnya sepele saja, kami melakukan aksi demonstrasi di desa kami. Kami telah melayangkan surat pemeberitahuan sehari sebelumnya. Namun hal ini ditolak mereka, karena demo atau unjukrasa harus mengantongi surat ijin, katanya. Fuih, sejak kapan negara demokrasi meminta rakyatnya untuk berijin melakukan unjuk rasa? Selama bertahun-tahun di Jogja, aku tidak pernah minta ijin untuk unjuk rasa, termasuk di kampus atau di mana saja. Aku terus saja memaki dalam hati. Sejak gerombolan polisi itu menangkap kami bersepuluh. Mereka menuduh kami provokator, padahal, kami yang menggerakkan masa secara sadar, padahal di awal orasai, kami telah menyatakan aksi damai, padahal mereka yang lebih dahulu mendorong kami dan merampas megaphone dari kami. Padaha, mereka yang anarkis, padahal mereka yang kurang ajar!

Aku sedang duduk kesal, sembari merasakan beberapa nyeri dibadan akibat dipukul dan dijambak saat ditangkap, pun saya dipukuli saat saya berdebat dengan mereka di atas mobil patrol, ketika tiba-tiba sebuah tendangan lutut yang sangat keras menghantam mulutku. Bibirku pecah, gigiku ngilu dan darah muncrat, lalu polisi itu lari keluar ruangan dengan berkata "Sakit ya? Maaf ndak lihat!" Aku hanya bisa merasakan rungan yang seolah berubah menjadi kapal yang terombang-ambing di tengah samudra. Aku pusing, aku memilih bersandar dan terasa akan segera pingsan. Lalu, salah satu dari dua adik kandungku yang juga ikut tertangkap berbisik padaku. "Ary Aryana namanya!" Ary Aryana, aku sebut nama itu, nama yang menggaung di kepalaku yang pusing. Ary Aryana nama pengecut itu. Seorang polisi printis yang menendang mulutku, lalu ngacir entah ke mana.

****

Saya tidak sedang ingin curhat dan berbagi sakit juga kekesalan, sebab jika berbagi kesakitan dan kekesalan, ada kawan-kawan saya yang lain, yang lebih menderita sakit. Ada yang dikeroyok, ditendang dadanya, diseret di aspal hingga berdarah lututnya. Tidak, saya tidak sedang ingin membagi sakit dan kesal. Saya hanya ingin menyatakan, bahwa saya sungguh sangat membenci militerisme! Saya mengutuk segala bentuk kepengecutan dan segala bentuk kebanggaaan atas seragam yang sama sekali tak membuat saya takut.

Jika rasionalitas pikiran yang saya kemukakan di atas mobil patroli dilawan dengan otot dan pukulan, maka otomatis kita sedang memupuk dan menyirami kekerasan yang kelak akan berbuah brandalisme dan premanisme, alias represifitas tanpa alasan. Apakah kekerasan kini sudah menjadi bagian budaya kita? Benarkah kekerasan yang terbentuk merupakan produk dari struktur? Ataukah kekerasan sudah dianggap sebagai alat yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dan membungkam? Apa pun faktor penyebabnya, kekerasan tetaplah sebuah kejahatan. Saya tidak pernah bisa menerimanya. Seharusnya, melallui aparat kepolisianlah, hukum mesti ditegakkan. Karena aparat kepolisian merupakan masyarakat sipil yang merupakan pelindung dan pengayom masyarakat juga pemelihara keamanan dan ketertiban. Bukan tukang pukul atau algojo pemerintah.

Yogyakarta,3 Oktober 2009

Foto dari sini