30 December, 2009

Doa seorang tukang tambal ban


Malam ini, aku berdoa padamu, Tuhan
Kirimkanlah padaku
satu saja seorang yang ban motornya bocor

satu saja, Tuhan
Satu lubang saja. Biar besok pagi istriku bisa membeli satu liter beras

Amin


Jalan Solo, 28 Desember 2009

26 December, 2009

Larang Lagi Larang Lagi


Larang lagi, larang lagi. Kayaknya melarang adalah hobi negara kita tercinta Indonesia ini. Kejaksaan (yang katanya) Agung ini, telah melarang peredaran 5 buah buku. Buku-buku ini dilarang berdar, sebab dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Katanya, mereka telah melakukan penelitian terhadap buku-buku tersebut dan buku itu dinyatakan berbahaya. Hal ini diungkapkan saat jumpa pers Laporan Kinerja Kejagung Tahun 2009 di Kejagung.

Ada 5 buku yang dilarang beredar, juga ada satu film yang dilarang putar. Perasaan Soeharto dah mati ya. Lah, kok? Jangan-jangan reinkarnasinya. Atau reinkarnasi rezimnya lahir kembali di rezim SBY saat ini. Apakah tataran bawah masyarakat kita terlalu hiporia Reformasi, atau amnesia sejarah? Sementara itu, tataran atas birokratik, rindu Orba? Sebuah pertanyaan yang menjebak!

Lima buku yang dilarang beredar itu antara lain:

1. Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa
2. Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman
3. Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan,
4. Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan
5. Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Ada yang bilang, dilarang tentu karena ada sebabnya. Jangan negatif thinking dulu.
Jelaslah, pasti ada pertimbangannya. Pertimbangan pastinya adalah, karena sejarah mau dibungkam. Lihat saja, buku John Rosa "Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto” adalah buku yang diduga paling mendekati fakta dan logika tentang kasus G-30/S. Buku ini bahkan terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007. Dunia sudah mengakui, buku ini keren, top markotop. Alasannya bukan semata-mata kontroversial dengan pendekatan yang belum pernah dipakai peneliti lain selama ini. Namun buku ini disusun dengan penelitian yang lama dan sangat teliti, mengahbiskan banyak biaya, dan risetnya mendalam. Kalau dunia saja mengakui, kenapa di Indonesia dibredel?

Sementara Buku "Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, adalah buku yang bagi saya sangat komprehensif dan netral melihat fenomena dunia tulis menulis di era itu. Dan film Balibo Five, menurut saya malah biasa saja. Bukan rahasia lagi, sudah banyak kasus seperti itu. Tanpa difilmkan pun orang sudah tahu, bagaimana militer di Indonesia, dan bagaimana mereka di daerah konflik.

Kenapa dibredel? Sebab buku-buku ini yang menuliskan kebenaran, dan negara selalu takut kebohongan dan dosa besar mereka terungkap.

Hanya buku Lekra Tak Membakar Buku dan Dalih Pembunuhan Masal yang sudah saya baca, sementara tiga di antaranya belum saya lihat bukunya. Namun, dari judul-judul buku tersebut, sudah terlihat bahwa tiga buku yang belum saya baca adalah buku yang mengkritisasi multikulturalisme, terutama agama. Bukankah, sejarah, agama, dan keberagaman, adalah isyu yang sering diinginkan seragam oleh Orba saat Berjaya dulu? Nah, mari kita lihat, ternyata benih-benih Orba muncul lagi dengan ingin membungkam dan menyeragamkan pola pikir masyarakat. Caranya adalah membredel buku yang kritis dan menganjurkan buku versi pemerintah.
Buku-buku itu dilarang beredar, bukan cuma dibatasi. Kalau alasannya adalah negara ini bukan negara liberal yang membebaskan segala sesuatu untuk diungkapkan, dan negara tidak banyak ikut campur pada ranah urusan privasi, mungkin betul. Tapi negara secara paham ekonomi politik telah menganut sistem liberal total, sejak tahun 1970-an, bahkan ketika rezim Soekarno diganti Soeharto. Sementara negara selalu mendengung-dengungkan demokrasi, pancasila dan sebagainya. Mana buktinya? Aspirasi dibungkam dan hak berpendapat dilarang. Buku-buku ini bukan cuma pendapat, tapi dukungan faktanya lengkap. Dunia mengakui buku John Rosa adalah satu dari tiga buku terbaik tentang kasus 65 di Indonesia. Negara hanya takut, dosa sejarah mereka (terutama tentara, CIA, dan Amerika) terbongkar dengan beredarnya buku ini.

Pelarangan demi pelarangan makin banyak terjadi. Belum hlang dari benak kita tentang pembakaran buku beberapa waktu lalu. Sekarang pelarangan kembali terjadi. Bahkan bagi Muhidin, ini bukan kali pertama bukunya dilarang. Buku Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur, dan beberapa bukunya yang menyinggung masalah keagamaan bahkan sempat dimusnahkan dan dia didatangi oleh beberapa organ islam, termasuk MUI yang sempat mengharmkan buku tersebut.

Penanganan hal seperti ini oleh negara, membuktikan bahwa negara seolah ketakutan dengan beredarnya buku-buku kritis dan berpersfektif berbeda dengan pemerintah. Isyu multikulturalisme, keberbedaan beragama, pembungkaman sejarah adalah isyu-isyu khas Orba dulu. Kanapa rezim SBY menghidupkannya lagi? Hmmm, rupanya hantu-hantu Orba bergentayangan di benak kita dan pemerintah kita.

Kalau perbedaan pendapat, perbedaan sudut pandang dan persfektif itu mungkin wajar. Tapi apakah pembakaran buku, pembredelan adalah tindakan yang arif? Saya adalah orang yang selalu menolak dua hal ini. Secara logika akal sehat, jika memang sebuah buku dinilai menyesatkan, dinilai salah, apakah pemikiran, riset dan usaha penulisnya akan diabaikan begitu saja? Kenapa tak lawan buku dengan buku, seperti yang pernah dilakukan Wiranto, Habibie dan Prabowo ketika mereka berdebat mengenai kejadian 98 di awal tahun 2006 lalu? Lawan buku dengan buku, lawan api dengan api.

19 December, 2009

Tak Kau Tahu

Kau tidak pernah tahu. Aku belum bisa mengatakannya sekarang; di awal surat ini. tapi akan aku katakan di ujung tulisan ini. (Eits, kamu tidak boleh melihatnya. Baca saja urut seperti aku menulisnya. Oke? Mari kita lanjutkan!)

Ini surat cintaku yang pertama. Pertama menulis, pertama pula untukmu.

Kita pernah saling mengenal. Kau tahu itu.

Persinggungan panas dan air laut, adalah asal muasal uap menjadi hujan. Hujan yang deras berawal dari air yang terlalu banyak menanjak, menjadi awan yang berat. Awan tak kuat menahan uap air, maka jatuhlah hujan. Itu yang terjadi pada kita. Pertemuan kita menjadi awal untuk perpisahan yang mungkin akan lama. Perpisahan awan dengan uap yang dikandungnya.

Aku ingat saat kita berkenalan. Pandanganmu aneh. Aku mengenal jenis pandangan itu. Kau tidak pernah bisa menipu mataku. Aku terlalu paham bahasa mata. Apa lagi mata yang ganjil seperti matamu. Dan kau membuktikannnya sehari setelah jabat tangan yang kau anggap berkesan itu. Kau mengagumiku, katamu. Aku melambung, hanya sejenak tapi. Aku tak pernah mau menikmatinya. Aku tak bisa menikmati rasa melambung yang kau ciptakan.

Dari situlah, cerita berat harus aku jalani. Menjadi kekasihmu adalah hal yang berat bagiku.

Barangkali kau menganggap aku… akh, berat sekali aku mengungkapanya. Baiklah. Kau harus tahu sifatku; aku lelaki kacangan, terlalu mudah jatuh cinta, aku terlalu lemah untuk bertindak. Kalau aku tak salah rasa, aku yakin kau sangat mencintaiku. Benar, kan? Lagi-lagi kau tidak bisa berbohong dengan tatapan matamu, ditambah senyummu. Akuilah kau sangat mencintaiku.

Lalu kita berpacaran. Sebuah hubungan aneh yang tiba-tiba. Kau mengucapkan terimakasih karena telah aku pilih, dank au mengucapkan cinta juga.

Tapi jangan marah kalau aku sebenarnya berat untuk menjalaninya. Ini kesalahanku karena tak tegas dahulu; sesungguhnya aku tidak pernah mencintaimu. (tolong, tolong jangan salahkan aku. Bukannya aku tak tahu diri, aku memang tidak bersalah. Begitu juga kamu. Keadaan saja yang membuat semuanya seprti ini. biarlah… waktu akan menjawabnya)

Kau tentu tidak pernah tahu. Biarlah aku katakan sekarang. Yang mengucapkan cinta padamu dulu bukan aku. Tapi temanku. Maafkan aku.

NB:

Malam ini aku berangkat menuju laut. Tolong, jangan cari aku. Jangan rindukan aku. Aku tak pernah mencintaimu.

Yogyakarta, 2008.