
Sejak kecil, saya masih ingat waktu itu masih kelas empat SD, ketika setiap malam 30 September, saya dan kawan-kawan sekolah saya waktu itu diminta untuk menonton sebuah film, lalu keesokan harinya kami harus membuat resensi dan menceritakannya di depan kelas. Film apa lagi kalau bukan film G30-S (dulu:G30-S-PKI). Sebuah film yang dibuka dengan pembacaan kesalahan-kesalahan PKI, pembantaiannya, pengeroyokan, pembakaran masjid, Al Quran, pemberontakan dan beragam kejahatan lainnya, lengkap dengan senjatanya berupa celurit.
Sebenarnya saya tidak banyak mengingat film ini, karena sebenarnya inti dari cerita yang akan kami sampaikan di depan kelas itu hanya dua poin. Yang pertama, tentu saja PKI jahat, tidak beragama, mereka menculik jendral-jendral, lalu istri-istri mereka (Gerwani) menari-nari sembari menyilet kemaluan para jendral yang diculik tersebut untuk dijadikan mainan. Maka semboyan yang paling membuat kami merinding dan menutup mata waktu itu adalah, "darah itu merah jendral!" (saya mau iseng dikit: emang ada darah ijo? hahaha.. hus, jangan terlalu serius ah!). Lalu poin kedua yang akan kami sampaikan di depan kelas adalah: Soeharto is the last Hero! ( Hahahaha... akulah pahlawan bertopeng. Bayangkan ekspresi Shincan!). Tak lebih dan tak kurang, hanya itu yang bisa ditangkap oleh imajinasi dan daya ingat anak kelas empat SD seusia saya waktu itu: PKI jahat, dan Soeharto adalah pahlawan penyelamat. Tentu saja, doktrin itu yang paling ingin disampaikan pada usia-usia belia kami waktu itu.
Bagaimana kami tidak merinding, film ini sungguh-sungguh penuh kekerasan, dan ketika menemui film ini lagi (saat ini, setelah saya kuliah, setelah Orba tumbang, setelah Soeharto mati) saya tahu, bahwa film ini memang secara sinematografi (setidaknya penilaian awam seorang penonton setia macam saya ini) saya bilang bagus. Seringkali efek ketegangan dimunculkan dengan kaki-kaki bersepatu yang berlarian dizoom in, bibir-bibir berkumis yang berbicara sembari mengembuskan asap rokok, juga ekspresi-ekspresi kesakitan yang hampir semuanya dizoom in. Efek ini saya rasakan begitu mengerikan, bahkan hingga saat ini, ketika saya sudah tak takut tidur sendiri, ketika saya sudah banyak nonton film-film hantu Indonesia dan malah tertawa dibuatnya. Bagaimana saya yang waktu itu sangat belia tidak takut? Darah-darah jendral berceceran, orang di masjid dibantai, Al Quran disobek dengan celurit, bahkan menonton saat ini pun, saya masih merinding, sungguh. Film ini menyajikan menu kekerasan yang masih melekat hingga usia saya lebih dari dua puluh tahun. Rupanya pembuat film ini tahu betul, bahwa rekam visual membero memori yang terang pada ingatan manusia yang menontonnya. Entah, dari mana mereka belajar teori film semacam itu.
Lambat laun, saya membaca banyak buku, saya bertemu banyak orang, saya berdiskusi dengan banyak kepala, dan tentu saja (saya yakin) pembaca sekalian tahu, bahwa tidak semua yang ada di film itu benar.
Saya tidak sedang ingin membahas G30-S-PKI. Saya hanya sedang ingin bercerita, bagaimana anak seusia saya waktu itu dibayang-bayangi ketakutan sehabis menontonnya: Tidur dalam pelukan ibu saya, terbawa mimpi darah-darah, membenci lambang palu dan arit, juga menjadikan simbol itu sebagai simbol setan yang saya takuti, lalu keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami sudah harus siapmenceritakan film horror itu di depan kelas.
Sudahlah, lain kali kita bicarakan lagi. kali ini saya hanya ingin menuliskan puisi buat seorang kawan saya. Saya bertemu dia di bali di Taman 65, sebuahkomunitas kultural yang terbangun di tengah lingkungan (kampung) dengan komposisi masyarakat korban dan pelaku pembantaian 65. Puisi ini saya tuliskan untuknya malam-malam 30 September 2009, ketika saya sedang di Lombok. Malamnya saya tulis puisi ini dan saya kirim via sms kepadanya. Kali ini saya ingin membaginya dengan kawan-kawan. Inilah puisi untuk kawan saya yang keluarganya ikut menjadi korban 65 itu. Selamat membaca.
september
kepada ngurah termana
malam-malam itu
suara sepatu-sepatu itu
bunyi peluru peluru itu
golok-golok berdarah itu
teriakan-teriakan itu
hianat-hianat itu
akhir bulan sembilan itu
september 2
katamu,
di sini api berkobar-kobar
dan tuding menuding
antara dibunuh atau terbunuh
golok-golok berkelebat
lalu kepala-kepala menggelinding
tanahku jadi semerah darah
katamu
Lombok Timur, 30 Septeber 2009
Puisi ini juga saya coba terjemahkan dalam bahasa inggris, mohon masukan dan koreksinya jika ada penggunaan bahasa yang salah. Maklumlah, saya kecilnya makan kangkung dan ubi rebus, bukan wortel dan kentang, apalagi burger (hehehehe), jadi kemampuan bahas inggris saya jauh di bawah lutut.
september
to Ngurah Termana
thats nights
the voice of that shoes
the sound of the bullets
bloody machetes
thats shouts
that serpentines
in the end of ninth month
September 2
you said that,
fire was blazing here
and every people was pointing
between murdered or killed
the machetes flashed
then heads get moving to the land
my land was so bloody
you said that,
East Lombok, 30 Septeber 2009