26 December, 2009

Larang Lagi Larang Lagi


Larang lagi, larang lagi. Kayaknya melarang adalah hobi negara kita tercinta Indonesia ini. Kejaksaan (yang katanya) Agung ini, telah melarang peredaran 5 buah buku. Buku-buku ini dilarang berdar, sebab dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila. Katanya, mereka telah melakukan penelitian terhadap buku-buku tersebut dan buku itu dinyatakan berbahaya. Hal ini diungkapkan saat jumpa pers Laporan Kinerja Kejagung Tahun 2009 di Kejagung.

Ada 5 buku yang dilarang beredar, juga ada satu film yang dilarang putar. Perasaan Soeharto dah mati ya. Lah, kok? Jangan-jangan reinkarnasinya. Atau reinkarnasi rezimnya lahir kembali di rezim SBY saat ini. Apakah tataran bawah masyarakat kita terlalu hiporia Reformasi, atau amnesia sejarah? Sementara itu, tataran atas birokratik, rindu Orba? Sebuah pertanyaan yang menjebak!

Lima buku yang dilarang beredar itu antara lain:

1. Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa
2. Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman
3. Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan,
4. Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan
5. Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Ada yang bilang, dilarang tentu karena ada sebabnya. Jangan negatif thinking dulu.
Jelaslah, pasti ada pertimbangannya. Pertimbangan pastinya adalah, karena sejarah mau dibungkam. Lihat saja, buku John Rosa "Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto” adalah buku yang diduga paling mendekati fakta dan logika tentang kasus G-30/S. Buku ini bahkan terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007. Dunia sudah mengakui, buku ini keren, top markotop. Alasannya bukan semata-mata kontroversial dengan pendekatan yang belum pernah dipakai peneliti lain selama ini. Namun buku ini disusun dengan penelitian yang lama dan sangat teliti, mengahbiskan banyak biaya, dan risetnya mendalam. Kalau dunia saja mengakui, kenapa di Indonesia dibredel?

Sementara Buku "Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965” karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, adalah buku yang bagi saya sangat komprehensif dan netral melihat fenomena dunia tulis menulis di era itu. Dan film Balibo Five, menurut saya malah biasa saja. Bukan rahasia lagi, sudah banyak kasus seperti itu. Tanpa difilmkan pun orang sudah tahu, bagaimana militer di Indonesia, dan bagaimana mereka di daerah konflik.

Kenapa dibredel? Sebab buku-buku ini yang menuliskan kebenaran, dan negara selalu takut kebohongan dan dosa besar mereka terungkap.

Hanya buku Lekra Tak Membakar Buku dan Dalih Pembunuhan Masal yang sudah saya baca, sementara tiga di antaranya belum saya lihat bukunya. Namun, dari judul-judul buku tersebut, sudah terlihat bahwa tiga buku yang belum saya baca adalah buku yang mengkritisasi multikulturalisme, terutama agama. Bukankah, sejarah, agama, dan keberagaman, adalah isyu yang sering diinginkan seragam oleh Orba saat Berjaya dulu? Nah, mari kita lihat, ternyata benih-benih Orba muncul lagi dengan ingin membungkam dan menyeragamkan pola pikir masyarakat. Caranya adalah membredel buku yang kritis dan menganjurkan buku versi pemerintah.
Buku-buku itu dilarang beredar, bukan cuma dibatasi. Kalau alasannya adalah negara ini bukan negara liberal yang membebaskan segala sesuatu untuk diungkapkan, dan negara tidak banyak ikut campur pada ranah urusan privasi, mungkin betul. Tapi negara secara paham ekonomi politik telah menganut sistem liberal total, sejak tahun 1970-an, bahkan ketika rezim Soekarno diganti Soeharto. Sementara negara selalu mendengung-dengungkan demokrasi, pancasila dan sebagainya. Mana buktinya? Aspirasi dibungkam dan hak berpendapat dilarang. Buku-buku ini bukan cuma pendapat, tapi dukungan faktanya lengkap. Dunia mengakui buku John Rosa adalah satu dari tiga buku terbaik tentang kasus 65 di Indonesia. Negara hanya takut, dosa sejarah mereka (terutama tentara, CIA, dan Amerika) terbongkar dengan beredarnya buku ini.

Pelarangan demi pelarangan makin banyak terjadi. Belum hlang dari benak kita tentang pembakaran buku beberapa waktu lalu. Sekarang pelarangan kembali terjadi. Bahkan bagi Muhidin, ini bukan kali pertama bukunya dilarang. Buku Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur, dan beberapa bukunya yang menyinggung masalah keagamaan bahkan sempat dimusnahkan dan dia didatangi oleh beberapa organ islam, termasuk MUI yang sempat mengharmkan buku tersebut.

Penanganan hal seperti ini oleh negara, membuktikan bahwa negara seolah ketakutan dengan beredarnya buku-buku kritis dan berpersfektif berbeda dengan pemerintah. Isyu multikulturalisme, keberbedaan beragama, pembungkaman sejarah adalah isyu-isyu khas Orba dulu. Kanapa rezim SBY menghidupkannya lagi? Hmmm, rupanya hantu-hantu Orba bergentayangan di benak kita dan pemerintah kita.

Kalau perbedaan pendapat, perbedaan sudut pandang dan persfektif itu mungkin wajar. Tapi apakah pembakaran buku, pembredelan adalah tindakan yang arif? Saya adalah orang yang selalu menolak dua hal ini. Secara logika akal sehat, jika memang sebuah buku dinilai menyesatkan, dinilai salah, apakah pemikiran, riset dan usaha penulisnya akan diabaikan begitu saja? Kenapa tak lawan buku dengan buku, seperti yang pernah dilakukan Wiranto, Habibie dan Prabowo ketika mereka berdebat mengenai kejadian 98 di awal tahun 2006 lalu? Lawan buku dengan buku, lawan api dengan api.

8 comments:

  1. becik ketitik olo ketoro!

    ReplyDelete
  2. buat aja UU dilarang merarang haha...

    "bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila" ckckckkk... klo Chan baca2 kandungan buku-buku bergenre Jihad, semua bertentangan dengan dasar hukum kafir ini kayaknya. Toh, semua kebenaran pada akhirnya akan muncul juga sekuat apapun penutupnya. Wuallahua'lam..

    Setuju dengan bung Bajang! Lawan Buku dengan Buku, Lawan Api dengan Api, Lawan Darah dengan Darah, Lawan Kata dengan Konotasi!

    ReplyDelete
  3. Semua kebenaran akan muncul, apapun penghalangnya..sepakt BUng Chan. Buku dibredel... karena kebusukannya takut ketahuan..
    hahahaha
    bredel saja Rumah Merah..wakakakaka

    ReplyDelete
  4. Ayooo! Kita Bredel Rumah Merah!

    Dari segi marketing lumayan loh Bung! Liat Buku Cikeas wah.. 1 buku bisa 300.000 di Klaten! Bahkan jika di hitung perharinya yang cari beeeh... LUPA!

    Luar Biasa! Tapi buku yang kayak gini mesti ada aja yang versi "bajakan" jadi hak cipta manusia ga berlaku. Yang berlaku Hak Cipta Hanya Milik Sang Pencipta Dah!!!

    ReplyDelete
  5. Yang Gurita Cikeas itu gimana? Kabarnya jadi kontroversi juga yah? Btw semua itu buku2 bermutu, pengen baca :D

    ReplyDelete
  6. iya, buku itu juga kontroversi lantara mengungkap banyak bisnis di yayasan2 milik sby dan keluarga, buku itu sudah susah ditemukan sekarang.

    ReplyDelete
  7. Wah kirain jaman bredel-membredel buku sudah berlalu. Ternyata....

    Ini kunjungan balik saya, bung Irwan :-)

    ReplyDelete

silakan berkomentar