
Pernahkah kamu dapat kembalian permen ketika habis belanja di toko, supermarket atau tempat belanja lainnya? Saya rasa, Hampir semua dari kita tentu saja pernah merasakan hal itu. Bagaimana perasaan kamu? Keberatan, marah, bingung, sebel, kesal, dongkol, atu biasa aja? Sebagian mungkin menganggap ini adalah hal biasa. Apa artinya sih uang hanya seratus, dua ratus atau lima ratus perak, toh kalau dibelanjakanm juga tidak bisa buat beli apa-apa! Barangkali banyak yang berpikir begitu. Tapi, sadarkah kita, jika sebenarnya kembalian dengan permen itu bukan hanya sekadar melanggar tata niaga, bahwa uang secara definitif berarti alat pembayaran yang telah disepakati, tapi secara tidak langsung pemilik supermarket telah mengeruk banyak untung dari hal tersebut dan konsumen atau pembeli telah dirugikan secara sepihak?
Mari kita hitung secara matematis.
Misalkan satu pack permen dengan isi dua lusin (24 bungkus) permen harganya Rp. 3 500,- maka harga permen satuannya adalah RP, 145, 9,-.
Itu artinya, jika saja permen tersebut disepakati sebagai alat pembayaran, maka harga mata uang permen tersebut adalah senilai Rp. 145, 9,-.
Nah, apa jadinya kalau kembalian kita sebanyak Rp. 200, atau Rp. 500 dikembalikan dengan permen? Bukankah 145, 9 adalah bilangan ganjil berkoma yang tak akan habis jika membagi bilangan 100 dan kelipatannya? Tentu saja konsumen akan rugi. Apalagi banyak kasir sebuah toko atau tempat perbelanjaan lainnya membulatkan permen seharga sekian menjadi Rp. 200,- atau ada juga yang menghitung 3 permen = Rp. 500,- Maka akan kacu jadinya. Selisih harga kurs Rupiah dan kurs mata uang permen tercecer di mana-mana.
Kalau 1 bungkus permen sama dengan Rp. 200,- maka 24 permen tadi akan menjadi Rp. 4800. Artinya, ada selisih keuntungan 1300 bagi si pemberi kembalian (penjual, pemilih toko, yang diwakili oleh kasirnya). Tentu saja menurut saya ini tidak fair, sebab bagaimanapun, kita tidak sedang bertransaksi membeli permen, tapi kita sedang meminta kembalian. Kalau berjualan, memperoleh untung dari selisih harga jual dan beli, itu lain soal lagi, itu sah-sah saja.
Bayangkan kalau kejadian ini terus saja berlanjut. Dalam setahun, dengan sekian kali belanja dan dapat kembalian permen, sudah berapa rupiah kita sebagai konsumen rugi? dan sudah berapa rupiah transaksi tidak sah yang diambil oleh penjual pada pembeli dari selisih mata uang permen itu dengan mata uang rupiah yang kita ambil sehari-hari?
Fenomena ini adalah hal sepele, tapi jika dibiarkan begitu saja, menurut saya situasi perdagangan bisa saja rumit, aneh dan tidak fair. Ini bukan masalah pelit, teliti, tidak ihlas, atau apalah namanya, tapi bagi saya ini menyangkut masalah kesepakatan, etika dan kedisiplinan. Banyak supermarket, yang sebab malas mencari uang receh pecahan seratus, limaratus dan lain sebagainya menggunakan jalan pintas ini. Entah memang karena malas mencari receh, atau ada motif pengambilan untung di belakangnya. Yang jelas, konsumen selalu saja sebagai korban dan menanggung kerugian.
Bukankah banyak pembeli yang belum sepakat, bahkan keberatan dan merasa dirugikan dengan penggunaan permen sebagai kembalian? Lalu, apakah kita akan diam saja. Atau, apa yang akan kita lakukan? Hmmmm. Saya mungkin akan memulai menolak mata uang permen ketika nanti hal itu terjadi (lagi) kepada saya saat membayar di kasir.
:D